21 Januari 2014

INTERNET SEBAGAI CANDU: SEBUAH ANALISIS KRITIS TERHADAP FENOMENA KEBERADAAN INTERNET SEBAGAI SARANA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Oleh : Muh. Abdi Goncing
A.   Pengantar
Dalam satu dekade ini, kehidupan manusia telah dirasuki semacam sebuah budaya baru dalam kehidupannya. Utamanya dalam urusan lifestyle yang sudah cenderung dijadikan sebagai sebuah kebutuhan primer dan bukan lagi sebagai kebutuhan sekunder. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, manusia pun kemudian dimanjakan oleh adanya inovasi dalam teknologi untuk mengakses setiap arus informasi yang sedang berkembang di belahan dunia lain yang disebut sebagai internet.

Internet pun kemudian menjadi sebuah gejala fenomena tersendiri dalam kehidupan manusia, khususnya dalam ruang kebudayaan dan mentalitas masyarakat yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, dari adanya teknologi internet tersebut. Dengan serta merta pun dapat ditemui, bagaimana menjamurnya usaha warnet hampir di setiap tempat yang terjangkau oleh layanan teknologi internet tersebut. Bahkan di kota-kota besar dan metropolitan yang masyarakatnya sangat kosmopolitan dan cukup egaliter, hal-hal semacam warung kopi atau warung-warung lainnya yang tersebar baik itu di pinggiran jalan protokol ataupun dalam lorong-lorng sempit, sangat mudah ditemui adanya fasilitas wi-fi  (wireless fidelity) di setiap warung-warung tersebut, apalagi jika warung tersebut menjadi sebuah tempat tongkrongan, baik itu anak muda maupun dari berbagai lintas generasi ataupun lintas strata sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa teknologi internet sebagai sebuah media yang membawa sebuah pesan, sebagaimana yang dikatakan oleh McLuhan dalam Baudrillard (2004: 152) bahwa media adalah pesan, yang mengarah pada sebuah pola konsumsi yang terus berputar dan melahirkan pesan-pesan baru, yang mana pesan tersebut dimaknai sebagai sebuah hal yang mesti untuk dikonsumsi.
Selain hal tersebut, fenomena-fenomena fasilitas dari teknologi internet berupa wifi tadi, bukan hanya bisa ditemui di warung-warung, tapi juga bisa ditemui di setiap kompleks perkantoran baik negeri maupun swasta ataupun sarana-sarana publik lainnya seperti sekolah ataupun kampus dan lain sebagainya. Hal yang sama pula dapat dijumpai di berbagai ruang publik yang ada.
Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan setiap akses informasi dan komunikasi yang berhubungan dengan pekerjaan atau apapun yang bersangkutan dengan hal-hal publik, dapat dengan segera diketahui ataupun dibagikan, yang dengan sendirinya setiap masalah yang timbul kemudian dapat terselesaikan dengan  mudah. Namun hal tersebut, jika diperhatikan lebih jauh, sejatinya menimbulkan sebuah fenomena negatif dalam kehidupan manusia, yang arahnya tertuju pada sebuah “candu baru” yang, disadari ataupun tidak, membawa dampak bagi kehidupan manusia modern ke dalam sebuah sistem konsumsi baru, yang sulit untuk dilepaskan dari kehidupan modern seperti saat ini. Sehingga menjadi benar apa yang telah diramalkan oleh Baudrillard (2004) bahwa media (dalam hal ini teknologi internet sebagai sebuah sarana informasi dan komunikasi modern) merupakan sebuah alat konsumsi baru yang berupa aktifitas permainan yang dipenuhi dengan manipulasi abstrak dan kepuasan semu atas mode dalam masyarakat konsumeris.
Mengapa dikatakan efek tersebut sebagai sebuah candu yang cenderung pada sesuatu yang negatif? Karena teknologi internet, dalam penggunaannya, telah menggeser fungsi komunikasi dan informasi itu sendiri, yang semestinya digunakan untuk kemajuan kehidupan manusia, justru diselewengkan ke dalam hal-hal yang sifatnya sangat naif dan tak masuk akal, yakni sebuah gaya hidup baru yang mesti ada dalam kehidupan masyarakat modern. Yang penting dicatat dalam persoalan ini, ketika teknologi internet ini kemudian menjadi candu dalam masyarakat modern, hal-hal seperti komunikasi sosial atau silaturahmi secara langsung, budaya dan beberapa nilai-nilai sosiologis serta filosofis dalam masyarakat akan hilang. Bahkan hal tersebut akan menjadi sesuatu yang tidak mustahil lagi, dikarenakan fungsi sosial dari komunikasi itu sendiri menjadi tidak berguna lagi.
Semisal bisa dapat dilihat, maraknya media-media sosial online yang digemari oleh lintas generasi, menjadikan hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting dan juga telah menjadi sebuah kebutuhan yang primer. Sehingga ketika seseorang tidak memiliki sebuah account media sosial yang difasilitasi oleh teknologi internet, orang tersebut akan dicap sebagai orang yang ketinggalan zaman, gaptek, tidak gaul atau bahkan tidak memiliki rasa sosial yang tinggi terhadap kolega-koleganya. Sehingga dalam hal ini, apa yang dikatakan oleh Jacques Ellul dalam van Bossche (2013) bahwa kehidupan manusia semakin terdeterminasi oleh ciptaan mereka sendiri, menjadi sebuah hal yang tak mustahil.
Padahal jika ingin menyadarinya dengan seksama, hal-hal yang demikian, sekali lagi, telah menghapus budaya silaturrahmi atau tatap muka secara langsung yang menjadi budaya yang khas dan sangat dihormati oleh masyarakat. Sehingga, menurut hemat penulis, hal-hal yang demikian dengan serta merta mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang sangat individualis serta mulai menggeser sebuah term dasar manusia yakni sebagai makhluk sosial.
Jika hal ini kemudian terus berlanjut (teknologi internet menjadi candu yang negatif dalam kehidupan), apa yang dikatakan oleh Thomas Khun tentang paradigma sebagai sebuah konsensus dalam pengetahuan manusia, akan menjadi sebuah kebenaran yang mutlak dalam masyarakat modern. Sebabnya tak lain adalah adanya kesepakatan dalam masyarakat berteknologi yang menjadikan teknologi internet sebagai sebuah paradigma baru yang memiliki kekuatan dalam merubah pola pikir dan perilaku ummat manusia.
Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa ada semacam sebuah kesepakatan dalam pengetahuan manusia yang menghalangi sebuah pengetahuan yang berupa paradigma (bisa dikatakan secara eksplisit seperti itu) yang mengelilingi kehidupan manusia itu sendiri. Sehingga teknologi internet ini kemudian dapat dikategorikan, ketika ia menjadi candu, sebagai sebuah paradigma yang tidak rasional dalam kehidupan manusia. Bahkan yang lebih parah lagi, kebiasaan ‘berseluncur’ di dunia maya melalui teknologi internet ini, pada titik tertentu telah menjadi habitus (meminjam instilah Bourdieu) dalam masyarakat modern, yang tentunya arah dari hal tersebut adalah munculnya teknologi internet sebagai sebuah ‘candu’ baru dalam pola konsumsi kehidupan masyarakat modern.
Untuk itu penting untuk kembali merefleksikan keberadaan dan fungsi sejati dari teknologi internet itu sendiri dan tekhnologi modern secara umum dalam kehidupan keseharian manusia. Sebab jika tidak demikian maka keberadaan manusia sebagai sebuah individu yang kolektif, perlahan akan bergeser ke arah yang semakin tidak menentu dan akan semakin memperjelas degradasi yang terjadi dalam moralitas individu yang dimilikinya, terutama dalam menjaga harmonisasi dalam hubungan antar individu.
Namun, perlu dicatat, bahwa bukan berarti manusia mesti menjauhi teknologi internet ini. Sebab yang demikian itu juga merupakan sebuah hal yang penting, utamanya dalam mengakses informasi yang saat ini serba digital. Asalkan pemanfaatannya tersebut tepat guna dan dengan porsi yang secukupnya.

B.   Analisis Kritis Terhadap Keberadaan Teknologi Internet sebagai Sarana Teknologi Informasi Dan Komunikasi Modern
Teknologi internet sebagai sebuah implikasi dari perkembangan dan inovasi teknologi dalam dunia informasi dan komunikasi, yang menjelma menjadi sebuah ‘alat’ baru dalam teknologi yang dimanfaatkan oleh manusia dalam memperoleh informasi di sekitarnya serta dalam kehidupan kesehariannya dan melakukan hubungan komunikasi antar individu yang satu dengan individu yang lainnya, telah menjadi sesuatu yang bukan lagi baru dalam konteks kehidupan masyarakat modern. Diawali dengan lahirnya komputer di era 1960-an, maka dalam perkembangan selanjutnya teknologi internet pun lahir sebagai sebuah jawaban atas fenomena komunikasi dan informasi yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia modern.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang membutuhkan individu-individu yang lain sebagai bentuk dari eksistensi dirinya dalam lingkungan dimana ia berada. Untuk itu, sangatlah diperlukan komunikasi yang terjalin dua arah antara individu-individu tersebut, dalam bahasa Habermas (2009) agar tercipta sebuah ruang publik yang adil dan setara tanpa sekat pembatas dalam lingkungannya. Begitupun juga dengan persoalan-persoalan yang terjadi di sekelilingnya, mesti diketahui oleh individu-ndividu lain di sekitarnya, agar kolektifitas dalam masyarakat tersebut tetap terjaga sebagaimana mestinya.
Informasi dan komunikasi yang demikian menjadi sangat penting dan memiliki jangkauan yang cukup luas, utamanya dalam konteks kekinian dalam masyarakat modern. Dimana masyarakat modern saat ini identik dengan kesibukan dan individualitas kehidupannya, namun juga tidak dengan serta merta melepaskan atau melupakan unsur kolektifitas dirinya ketika kembali ke dalam masyarakatnya. Sehingga dalam persoalan ini, kemudian dibutuhkan sebuah sarana atau alat untuk menggali atau mendapatkan informasi yang lebih cepat dan instan, agar setiap kejadian yang terjadi tidak terlewatkan begitu saja.
Dalam hal ini kemudian teknologi internet lahir sebagai sebuah jawaban atas persoalan tersebut, yang kemudian meretas batas-batas ruang dan waktu yang melingkupi kehidupan manusia. Teknologi internet ini kemudian berkembang menjadi sebuah teknologi baru yang sangat memudahkan manusia mengakses setiap arus informasi yang terjadi disekitarnya. Selain itu teknologi internet ini pun, dalam perkembangannya dapat dijadikan sebagai sebuah alat komunikasi sosial, yang bahkan menghapus sekat-sekat pembatas yang membatasi individu yang satu dengan individu yang lain.
Namun, dengan terhapusnya sekat-sekat pembatas diantara manusia tersebut, keberadaan teknologi internet dalam konteks kekinian kemudian dengan serta merta merubah pola komunikasi dan pergaulan manusia modern yang cukup hanya melalui dunia maya saja. Hal ini sejatinya mendistorsi dan mengaborsi hakikat keberadaan teknologi internet itu sendiri sebagai alat atau sarana informasi dan komunikasi modern. Sehingga dengan sendirinya manusia pun kemudian mengalami determinasi (sebagaimana yang dikatakan oleh Ellul dalam van Bossche, 2013: 5-6 dan 10) yang cukup mendalam dalam persoalan ini.
Mengapa terdeterminasi? Sebab melalui teknologi internet manusia dipengaruhi oleh ide dan fantasi yang sangat berlebihan, sehingga pada akhirnya semakin menjauh dari hakikatnya sebagai manusia. Apa yang dibawa oleh teknologi internet melalui pesan dan gambar-gambarnya lewat organisasi tekniknya adalah sebuah ideology, yang dalam kacamata Baudrillard (2004: 154) disebutkan sebagai sebuah dunia yang bisa divisualkan dengan baik. Sehingga menurutnya, pesan dan gambar-gambar tersebut membawa ideologi dari semua kekuatan sistem pembacaan menjadi sistem tanda.
Selain hal di atas, ada juga hal menarik dalam melihat fenomena keberadaan teknologi internet ini dalam konteks masyarakat modern. Hal tersebut adalah teknologi internet sebagai salah satu jenis media semakin kehilangan ruh atau fungsi dasarnya sebagai alat penyampai informasi dan alat komunikasi publik. Kehilangan fungsi dasar yang terjadi tersebut berupa komersialisasi pesan-pesan yang tergambar di dalamnya. Sehingga pada akhirnya dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan (Haryatmoko, 2007: 9), terkhusus pada citra yang tergambar dalam media komunikasi kekinian (internet).
Logika pasar pun dengan serta merta masuk ke dalamnya dan mengarahkan pengorganisasian sistem informasi dan komunikasi yang termasuk di dalamnya. Sebabnya tak lain adalah banyak pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan yang mau membenarkan logika pasar tersebut (Haryatmoko, 2007: 9). Sehingga peran media dalam memberikan citra yang baik kepada khalayak umum pun semakin kabur karena hal tersebut bisa dipesan berdasarkan pembayaran atau penawaran tertinggi yang bisa dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang menginginkan sebuah pencitraan yang baik bagi dirinya ataupun kelompoknya. Dalam hal inilah kemudian teknologi internet (dan media secara umum) menjadi sebuah candu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern.
Dengan demikian, dalam hal ini, segala bentuk pesan yang ada dan telah tergambarkan dalam teknologi internet tersebut, merupakan bentuk pencitraan yang mendiskualifikasi kategori kebenaran karena pencitraan merancukan kebenaran (Haryatmoko, 2007: 13). Yang terjadi kemudian hanyalah sebuah rekayasa yang mendorong konsumsi atas citra yang tergambar dalam pesan-pesan dalam teknologi internet tersebut sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, sehingga kemudian sulit dibedakan yang mana yang murni realitas, representasi kepalsuan, simulasi ataupun hiperealitas (dalam bahasa Baudrillard). Sebabnya tak lain adalah rekayasa yang terjadi tersebut telah menelusup masuk ke dalam celah-celah nilai, gagasan ataupun opini yang sedang tersampaikan, sehingga interpretasi yang lahir atas pesan ataupun informasi tersebut semakin menjauhkan atau bahkan mengaburkan dari hal yang sebenarnya terjadi di balik informasi tersebut.
Contoh nyata dari informasi yang direkayasa sedemikian rupa tersebut (baik dalam medium yang menggunakan teknologi internet ataupun dalam media secara umum) adalah berupa iklan yang mencitrakan atau menawarkan sebuah gambaran, yang dalam konteks bahasa iklan biasanya dapat dijelaskan dengan gambaran mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Piliang, 2003: 287), kemudian diada-adakan sebagai sebuah bentuk atau citra yang real dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, menurut Piliang (2003: 287) citra tersebut digunakan untuk mengorganisir relasi konsumsi, serta relasi sosial yang terbentuk di dalam proses konsumsi tersebut (satus sosial, kelas sosial, dan prestise sosial). Sehingga dengan demikian, citra tersebut dengan sendirinya dapat menggambarkan sebuah realitas kehidupan yang mencerminkan kelas atau status dan prestise sosial yang terdapat di dalam masyarakat, atau dengan kata lain (meminjam istilah Marx) citra tersebut merupakan sebuah fetisisme komoditi (commodity fetishisme) yang mencerminkan sebuah hubungan dalam kehidupan sosial.
Dalam perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, apalagi dengan adanya teknologi internet, teknologi citra atau pencitraan menjadi sebuah strategi pemasaran, penjualan atau pengkonsumsian  yang sangat signifikan, karena sangat mudah menyapa kehidupan keseharian masyarakat, terkhusus dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebab segala yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut butuh sebuah sarana untuk dicitrakan (atau lebih tepatnya diiklankan) agar tercapai sebuah tujuan yang tepat sasaran. Maka tidak salah jika di dalam sistem periklanan dijumpai konsep-konsep, gagasan, tema atau ide-ide yang dikemas dan ditanamkan pada sebuah produk untuk dijadikan sebagai sebuah memori publik dalam rangka mengendalikan diri (hasrat) mereka (Piliang, 2003: 288).
Sehingga teknologi internet akhirnya dijadikan sebagai sebuah instrumen utama dalam menguasai kehidupan dan jiwa manusia modern, yang membentuk dan mengatur tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Teknologi internet kemudian, dalam masyarakat konsumeris, menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat berguna, sebuah benda yang tidak diperlukan menjadi sangat diperlukan dan benda yang aslinya tidak dibutuhkan menjadi sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, citra (yang tergambar dalam teknologi internet) mengkomunikasikan konsep diri setiap orang yang dipengaruhinya (Piliang, 2003: 288).
Hal seperti diatas sejatinya telah mengarahkan masyarakat modern kepada sebuah pandangan yang absurd (yang kemudian menjadi candu), yang mana masyarakat tidak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, serta yang mana yang benar-benar real dan yang mana yang hanya berupa rekayasa atau hanya sekedar sebagai sebuah issu. Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam suatu hal yang berlebihan akan realitas (hiperrealitas). Dalam hal ini, Baudrillard (1983) pun berkesimpulan bahwa dalam dunia hiperealitas, kesemuan dianggap lebih nyata ketimbang kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar dari pada sebuah kebenaran. Issu atau opini lebih dipercaya ketimbang sebuah informasi, bahkan rumor dianggap lebih benar daripada suatu hal yang kebenarannya adalah sesuatu yang telah terbukti.
Persoalan yang dipaparkan diatas merupakan sebuah wujud atau model dari simulasi atas realitas yang dilakukan oleh media dan terkhusus oleh teknologi internet, yang mana memanipulasi segala bentuk gambar agar didapatkan sebuah kenyamanan absurd yang dikehendaki oleh masyarakat modern. Tentu saja hal tersebut bertujuan untuk tercapainya sebuah dominasi (meminjam istilah Bourdieu) dalam konteks kehidupan masyarakat modern. Sehingga apa yang tergambar dalam teknologi internet tersebut (melaui proses simulasi yang dilakukannya) dapat mengarahkan penggunanya untuk lebih percaya terhadap apa yang sedang dicitrakan dihadapan mereka sebagai sebuah realitas.
Dari pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa sejatinya teknologi internet merupakan bagian atau salah satu model dari simulasi komunikasi dan informasi yang dilakukan oleh media, khususnya dalam mencitrakan sebuah bentuk yang penuh dengan manipulasi di dalamnya. Sebab sebagaimana yang dinyatakan oleh Yasraf Amir Piliang (2003: 134) bahwa simulasi adalah citra tanpa referensi (suatu simulacrum) dan ini terjadi dalam medium yang menggunakan teknologi internet. Simulakrum sendiri dapat dipahami sebagai sebuah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat modern atas tanda (Piliang, 2003: 134), atau penampakan yang menyatakan diri sebagai realitas (Petit Robert dalam Haryatmoko, 2010: 23). Baudrillard (1983) sebagai pencetus teori simulasi tersebut (berdasarkan pengaruh dari Marshall McLuhan dalam pemikirannya) menggunakannya untuk membandingkan sebuah model dengan realitas, yang mana hal tersebut dilakukan atau dibuat berdasarkan hasil acak dari model yang dibandingkan (atau lebih tepatnya direpresentasikan) dengan realitas itu sendiri.
Selanjutnya, apa yang digambarkan dalam teknologi internet diatas, sejatinya mengarahkan pada suatu implosi yakni proses kemunduran social membawa ke hancurnya batas-batas: ledakan makna dalam media dan ledakan media dan social ke dalam massa, yang pada akhirnya mengarahkan pada hal yang membosankan, menjenuhkan atau bahkan membingungkan (Haryatmoko, 2013). Hal tersebut, dalam bahasa Baudrillard (1983: 57) dikatakan sebagai awal mula dari proses simulasi secara keseluruhan. Karena makna tidak lagi dapat dibedakan, yang mana yang bermakna positif dan yang mana yang bermakna negatif, yang pada akhirnya terbentur pada kejenuhan atau kegamangan dalam pemaknaan pada ranah kehidupan social.
Tanda pun, dalam medium yang menggunakan teknologi internet, hanya dimaknai sebatas sebagai sebuah petanda, bukan sebagai sebuah penanda. Sebabnya karena tanda yang dimaknai bukan atau tidak lagi berkaitan dengan realitas. Menurut Baudrillard (1983:12), hal tersebut dikarenakan terjadi pengembangbiakan mitos-mitos (dalam tanda tersebut) akan asal-usul (origin) dan tanda realitas, kebenaran pun hanya sebatas objektifitas dan keaslian yang kedua (second hand).
Segala hal dan proses yang terjadi dan diselimuti oleh teknologi internet diatas, kemudian berujung pada sebuah absurditas ganda yang dikonsumsi (yang kemudian menjadi candu) oleh public sebagai sebuah kebenaran, yang mana pada satu sisi berdampak positif dan disisi lain berdampak negatif. Akhirnya yang berlangsung pun bukan lagi representasi atas yang real, melainkan penciptaan yang hiperreal (Haryatmoko, 2010: 23).  Bahkan yang lebih buruk lagi dalam proses yang berlangsung dalam teknologi internet tersebut, kemudian membangkitkan secara artificial system tanda karena tanda merupakan materi yang lebih muda dibentuk dari pada makna, bukan lagi masalah imitasi atau reduplikasi dan bukan pula parodi, tetapi masalah menggantikan tanda-tanda yang real sebagai yang real itu sendiri (Haryatmoko, 2010: 24), yang menghapus segala macam bentuk acuan atas realitas.
Dengan kata lain, simulasi atau pencitraan dalam medium yang menggunakan teknologi internet dengan sendirinya mengawali sebuah era baru dalam kehidupan masyarakat modern, khususnya dalam kehidupan kesehariannya, yakni era virtualitas yang disebut oleh Baudrillard (1983) sebagai era hiperrealitas. Dimana simulasi dijadikan sebagai sebuah acuan dan instrument operasional dalam menanamkan sebuah kesemuan dalam realitas masyarakat modern. Hal ini jelas dapat dilihat dari atau ditandai dengan hilangnya petanda dan metafisika representasi, runtuhnya ideology dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi (Piliang, 2003: 135). Dalam kacamata Baudrillard (1983: 142) dikatakan bahwa hiperrealitas pun menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek representasi, melainkan ekstase penyangkalan dan pemusnahan terhadap ritualnya sendiri (realitas).
Masyarakat modern pun dalam era virtualitas komunikasi dan informasi yang identik dengan penggunaan teknologi internet, perlu dipahami sebagai masyarakat modern yang identik dengan konsumsi yang naif dan hiperreal (meminjam istilah Budrillard) dan dunia yang serba digital sehingga dunia ini seperti dapat dilipat (meminjam istilah Piliang) agar keterpenuhan konsumsi akan informasi tersebut dapat dengan segera terpenuhi. Sehingga ada semacam habitus baru dalam masyarakat (meminjam istilah Bordieu) untuk menjadikan teknologi internet ini sebagai sebuah ‘candu dalam budaya pop yang berkembang saat ini. Teknologi internet pun memainkan perannya dalam kehidupan manusia modern dalam hal informasi dan komunikasi yang menjalankan sebuah fungsi kontrol atau lebih tepatnya strategi dominasi, agar manusia menjadi sebuah masyarakat yang konsumtif dan sangat tergantung dengan keberadaannya, yang pada akhirnya mengontrol dan menguasai kesadarn manusia sehingga semakin teraleniasi dan terderminasi dari dunianya.
Sehingga apa yang sebenarnya terjadi kini dengan adanya teknologi internet ini adalah keterjebakan dalam ruang ideologis dalam mencerap segala macam bentuk informasi, yang mana ditandai dengan timbulnya ekosistem baru dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi, yakni kebiasaan (atau lebih tepatnya kecanduan) menggunakan teknologi internet sebagai sarana yang lebih praktis mendapatkan informasi. Dalam hal ini, persoalan yang terbesar yang dihadapi oleh media secara umum adalah kehadiran teknologi internet yang kemudian memisahkan (atau bahkan sulit untuk dibedakan) iklan dan berita. Sehingga menurut Kovach dan Rosenstiel (2012: 7) perubahan mendasar dalam hal ini adalah lebih pada porsi tanggung jawab social yang dimiliki oleh media (terkhusus pada media yang mengandalkan teknologi internet sebagai medium), yang mana untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar, kini tergantung pada setiap individu yang memanfaatkan teknologi internet tersebut.

C.   Dampak Keberadaan Teknologi Internet dalam Kehidupan Modern
Keberadaan teknologi internet sebagai sebuah teknologi yang dijadikan sebagai sebuah alat atau sarana komunikasi dan informasi dalam masyarakat modern, telah menimbulkan beberapa dampak, baik itu positif maupun negatif, yang pada tataran selanjutnya teknologi internet ini menjadi sebuah candu pada masyarakat modern. Bahkan, fenomena keberadaan teknologi internet tersebut telah mengontrol kehidupan manusia, baik itu dari aspek positif maupun negatif, khususnya dalam pengembangan pengetahuan dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi saat ini. Dalam hal ini, ‘candu’ dari teknologi internet pun dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang memiliki wujud gambar yang berbeda.
Peran teknologi internet sebagai media yang sangat dominan dalam pembentukan opini public, tidak bisa diabaikan begitu saja, terkhusus dalam persoalan konsumsi informasi atau berita dan gaya hidup pada kehidupan keseharian masyarakat modern. Hal ini dikarenakan sarana yang paling tepat untuk digunakan di tengah derasnya arus perkembangan teknologi saat ini adalah media yang berupa layanan teknologi internet yang lebih cepat dapat diakses kapan pun dan dimana pun, dan teknologi internet ini pula salah satu bentuk media yang sangat dipercayai dan banyak digunakan oleh public sebagai penyampai berita atau setidaknya yang paling representatif dalam menyampaikan keadaan yang terjadi di sekitar kehidupan masyarakat. Jelas hal ini di satu sisi menimbulkan sebuah dilema yang besar dalam kehidupan social masyarakat, karena mereka sangat percaya terhadap apa yang disampaikan oleh media melalui teknologi internet. Begitupun juga sebaliknya, juga menjadi sebuah dilema terhadap objektifitas media (terkhusus yang mengandalakan diri pada teknologi internet), karena kebanyakan media dimiliki oleh kalangan pengusaha (sekaligus politisi), yang tentunya berorientasi pada keuntungan pribadi semata (tentang daftar pemilik dan group media massa tersebut, lihat majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012 hal. 6 dan 37). Akhirnya teknologi internet pun dengan sendirinya menciptakan simulasi atau pencitraan demi kelangsungan kepentingan pemilik dan para pelakunya tersebut.
Sejatinya segala bentuk dan proses yang berlangsung dalam media yang menggunakan teknologi internet, jika dilihat dari kacamata Baudrillard (1983: 11), sedang mendiskualifikasi kategori kebenaran (yang hanya memberikan tanda untuk dikonsumsi), sehingga tidak ada lagi pembedaan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas. Informasi yang diinfokan melalu media, terkhusus pada media yang memanfaatkan teknologi internet, pun dengan sendirinya dianggap sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi. Padahal dalam hal ini, teknologi internet sedang menjalankan simulasi yang seakan-akan nyata, dimana realitas berlalu begitu saja seakan-akan hanya representasi atau simulasi (Haryatmoko, 2010: 33).
Hal inilah yang kemudian menjadi konsumsi publik dan menjadi ‘candu’ dalam masyarakat modern, yang menghasilkan absurditas ganda yang memiliki dua implikasi, positif dan negative. Dari sisi positif, publik menjadi lebih kritis dan lebih jeli dalam melihat atau merespon setiap hal yang terdapat di dalamnya. Namun dari sisi negatifnya, publik menjadi lebih hedonis dan apatis terhadap realitasnya. Sehingga ketika terjadi sebuah peristiwa atau bencana di tempat lain, seseorang hanya bisa merasakan atau turut bersimpati pada saat itu saja tanpa ada bekas di masa yang akan datang, atau justru sebaliknya, merasa bersyukur karena bencana tersebut tidak menimpa dirinya dan melupakan atau mengenyampingkan kepedihan yang dirasakan oleh orang lain yang sedang mengalami peristiwa atau bencana tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi adalah para pengguna layanan teknologi internet tersebut rela untuk ‘duduk manis’ berjam-jam demi mengkonsumsi segala macam layanan yang terdapat dalam teknologi internet, sehingga melupakan statusnya sebagai makhluk sosial.
Dalam hal ini, menurut Haryatmoko (2007: 35), media (dalam hal ini media yang menggunakan teknologi internet) sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi ia justru semakin membuat penikmatnya tergantung dan kompulsif. Apalagi logika pasar yang bermain dalam media juga sangat berperan besar dalam mempengaruhi setiap content atau isinya, sehingga yang dihasilkan kemudian adalah komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak terkontrol yang mengarahkan pada sebuah penanaman sebuah ideology yang cukup serius, yakni ideology pasar. Olehnya itu, sangat sulit bagi media yang menggunakan teknologi internet (dan media secara umum) untuk keluar dari logika pasar tersebut dan membentuk pikiran kritis dan penilaian yang refleksif dan objektif.
Selain itu, informasi yang disampaikan atau dikemas dalam layanan teknologi internet tersebut, dalam bahasa Haryatmoko (2010: 267) memiliki kecenderungan hanya sebatas menjajakan tanda, yang menghilangkan representasi dari kenyataan. Pada akhirnya masyarakat pun didorong untuk mengkonsumsi tanda yang dijamin benar-benar merupakan representasi dari yang real, yang menghantarkan pada rasa penasaran, bukan pada persamaan kepentingan yang dimiliki oleh keduanya. Efek dari model ini (penyampaian informasi media melalui teknologi internet dan media secara keseluruhan) adalah pemiskinan komunikasi yang hanya menjadi dan dimaknai sebatas tanda semata (Haryatmoko, 2010: 266), dimana setiap informasi dan komunikasi dibuat aktual dan berlebihan, yang pada akhirnya sampai pada melampaui kebenaran, realitas dan objektifitas, atau dalam terminologi Baudrillard sebagai hiperrealitas.
Hal diatas sejatinya semakin diperparah lagi dengan adanya ‘logika waktu pendek’ (meminjam istilah Lipovetsky: short-term logic) yang dimainkan dalam media yang menggunakan layanan teknologi internet dan media secara umum. Yang mana apa yang disampaikan oleh media yang menggunakan layanan teknologi internet tersebut lebih mementingkan kecepatan ketimbang ketepatan atau keakuratan pesan, sehingga kemudian lahirlah pesan-pesan atau gambar-gambar dan tayangan-tayangan langsung (live) dari tempat kejadian, yang seolah merepresentasikan atau menggambarkan situasi yang sedang terjadi di lokasi kejadian tersebut. Hal-hal semacam inilah yang selama ini menjadi godaan terbesar yang selalu menggangu media (termasuk media yang menggunakan layanan teknologi internet di dalamnya), yang dalam pandangan para pelakunya, lebih baik segera menyampaikan informasi kepada public, baru kemudian dicek, daripada basi atau sudah disampaikan lebih dulu oleh media lain (Haryatmoko, 2007: 39). Bentuk-bentuk semacam inilah mungkin yang dapat dikategorikan sebagai mimetisme (meminjam istilah Ramonet dalam Haryatmoko, 2007: 22) yang sedang berlangsung dalam media yang mengguanakan layanan teknologi internet hari ini, dimana para pelaku media ditumbuhi semacam ‘mental ikut-ikutan’ terhadap media lain (khususnya yang dianggap dapat menjadi media acuan) yang sedang mewacanakan atau mewartakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang dianggap penting untuk disampaikan ke hadapan public.
Dampak lain dari keberadaan teknologi internet ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari para pengamat media sendiri, yakni apakah kebenaran masih memiliki arti dalam kehidupan manusia? sebab di era baru informasi yang serba virtual dan digital ini, realitas hanyalah masalah keyakinan, bukan tentang sesuatu yang objektif atau terverifikasi (Kovach dan Rosenstiel, 2012: 6), atau dengan kata lain, semuanya (pesan) kemudian dipenuhi dengan spekulasi-spekulasi yang bukannya mengkonfirmasi kebenaran tersebut melainkan mengafirmasinya. Sehingga dalam hal ini poros media pun, dengan keberadaan teknologi internet ini, kemudian beralih dari era informasi ke era afirmasi.

D.   Kesimpulan
Keseluruhan dari pemaparan diatas, jika berangkat dari pandangan McLuhan (.....) tentang ‘medium is message’, sejatinya ingin menunjukkan bagaimana keberadaan teknologi internet dalam kehidupan masyarakat modern saat ini hanya dijadikan sebagai sebuah sarana untuk memenuhi gaya hidup (lifestyle) dan dijadikan sebagai media yang membawa pesan konsumsi kepada publik, khususnya dalam derasnya arus perkembangan sarana informasi dan komunikasi kekinian, yang juga didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi. Sehingga apa yang menjadi dampak paling signifikan dari keberadaan dari teknologi internet ini adalah lahirnya sebuah ‘candu’ dalam masyarakat modern yang menjadikan teknologi internet sebagai alat pemuas hasratnya dalam mendapatkan informasi dan melakukan proses komunikasi.
Selain itu, ‘candu’ dari teknologi internet tersebut ibarat sebuah pesan dari masa depan yang dipenuhi dengan kemajuan teknologi yang dapat mengubah kehidupan manusia secara lebih baik. Dengan kata lain, sebagaimana yang dikatakan oleh McLuhan dalam from Understanding Media (…..: 66) bahwa pesan pada setiap media atau teknologi merupakan bentuk perubahan skala, langkah atau pola yang memperkenalkan kreatifitas dalam urusan kehidpan manusia (the ‘message’ of any medium or technology is the change of scale or pace or pattern that it introduces into human affairs).


Daftar Pustaka

Baudrillard, Jean, 1983, Simulations, Semiotext(e), New York, USA.
__________, 2004, Masyarakat Konsumsi, terj.: Wahyunto, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
van Den Bossche, Mark, 2013, Materi Pada Perkuliahan tentang Jacques Ellul dalam Mata Kuliah Filsafat Teknologi, Program Master Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta.
Habermas, Jurgen, 2009, Teori Tindakan Komunikatif (Buku Satu): Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Haryatmoko, 2007, Etika Komunikasi, Kanisius, Yogyakarta.
__________, 2010, Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
__________, 2013, Materi Pada Perkuliahan Tentang Jean Baudrillard dalam Mata Kuliah Filsafat Sosial, Program Master Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta.
Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom, 2012, BLUR: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi, terj.: Imam Shofwan dan Arif Gunawan Sulistiyono, Dewan Pers, Jakarta.
Majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012.
McLuhan, Marshall, 1964, from Understanding Media, dalam Philosophers of The Technological Age,
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Bandung.

__________, 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung.

1 komentar: