Oleh : Muh. Abdi Goncing
A.
Pengantar

Internet
pun kemudian menjadi sebuah gejala fenomena tersendiri dalam kehidupan manusia,
khususnya dalam ruang kebudayaan dan mentalitas masyarakat yang terkena dampak,
baik positif maupun negatif, dari adanya teknologi internet
tersebut. Dengan serta merta pun dapat ditemui, bagaimana menjamurnya usaha warnet hampir di setiap tempat yang
terjangkau oleh layanan teknologi internet tersebut. Bahkan di kota-kota besar
dan metropolitan yang masyarakatnya
sangat kosmopolitan dan cukup egaliter, hal-hal semacam warung kopi atau
warung-warung lainnya yang tersebar baik itu di pinggiran jalan protokol
ataupun dalam lorong-lorng sempit, sangat mudah ditemui adanya fasilitas wi-fi
(wireless fidelity) di setiap
warung-warung tersebut, apalagi jika warung tersebut menjadi sebuah tempat tongkrongan, baik itu anak muda maupun
dari berbagai lintas generasi ataupun lintas strata sosial dalam masyarakat.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa teknologi internet
sebagai sebuah media yang membawa sebuah pesan, sebagaimana
yang dikatakan oleh McLuhan dalam Baudrillard (2004: 152) bahwa media
adalah pesan, yang mengarah pada sebuah pola konsumsi yang
terus berputar dan melahirkan pesan-pesan baru, yang mana pesan tersebut
dimaknai sebagai sebuah hal yang mesti untuk dikonsumsi.
Selain
hal tersebut, fenomena-fenomena fasilitas dari teknologi internet
berupa wifi tadi, bukan hanya bisa
ditemui di warung-warung, tapi juga bisa ditemui di setiap kompleks perkantoran
baik negeri maupun swasta ataupun sarana-sarana publik lainnya seperti sekolah
ataupun kampus dan lain sebagainya. Hal yang sama pula dapat dijumpai
di berbagai ruang publik yang ada.
Tentunya
hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan setiap akses informasi dan komunikasi
yang berhubungan dengan pekerjaan atau apapun yang bersangkutan dengan hal-hal
publik, dapat dengan segera diketahui ataupun dibagikan, yang dengan sendirinya
setiap masalah yang timbul kemudian dapat terselesaikan dengan mudah. Namun hal
tersebut, jika diperhatikan lebih jauh, sejatinya menimbulkan sebuah fenomena
negatif dalam kehidupan manusia, yang arahnya tertuju pada sebuah “candu baru” yang, disadari ataupun
tidak, membawa dampak bagi kehidupan manusia modern ke dalam sebuah sistem
konsumsi baru, yang sulit untuk dilepaskan dari kehidupan modern
seperti saat ini. Sehingga menjadi benar apa yang telah diramalkan oleh
Baudrillard (2004) bahwa media (dalam hal ini teknologi internet
sebagai sebuah sarana informasi dan komunikasi modern) merupakan
sebuah alat konsumsi baru yang berupa aktifitas permainan yang dipenuhi dengan
manipulasi abstrak dan kepuasan semu atas mode dalam masyarakat konsumeris.
Mengapa
dikatakan efek tersebut sebagai sebuah ‘candu’
yang cenderung pada sesuatu yang negatif? Karena teknologi internet,
dalam penggunaannya, telah menggeser fungsi komunikasi dan informasi itu
sendiri, yang semestinya digunakan untuk kemajuan kehidupan manusia, justru
diselewengkan ke dalam hal-hal yang sifatnya sangat naif dan tak masuk akal,
yakni sebuah gaya hidup baru yang mesti ada dalam kehidupan masyarakat modern. Yang
penting dicatat dalam persoalan ini, ketika teknologi internet ini
kemudian menjadi candu dalam masyarakat modern, hal-hal
seperti komunikasi sosial atau silaturahmi secara langsung, budaya dan beberapa
nilai-nilai sosiologis serta filosofis dalam masyarakat akan
hilang. Bahkan hal tersebut akan menjadi sesuatu yang tidak mustahil lagi,
dikarenakan fungsi sosial dari komunikasi itu sendiri menjadi tidak berguna
lagi.
Semisal
bisa dapat dilihat, maraknya media-media sosial online yang digemari oleh lintas generasi, menjadikan hal tersebut
menjadi sesuatu yang sangat penting dan juga telah menjadi sebuah kebutuhan
yang primer. Sehingga ketika seseorang tidak memiliki sebuah account media sosial yang difasilitasi
oleh teknologi internet, orang tersebut akan dicap sebagai
orang yang ketinggalan zaman, gaptek,
tidak gaul atau bahkan tidak memiliki rasa sosial yang tinggi terhadap
kolega-koleganya. Sehingga dalam hal ini, apa yang
dikatakan oleh Jacques Ellul dalam van Bossche (2013) bahwa
kehidupan manusia semakin terdeterminasi oleh ciptaan mereka sendiri, menjadi
sebuah hal yang tak mustahil.
Padahal
jika ingin menyadarinya dengan seksama, hal-hal yang demikian, sekali lagi,
telah menghapus budaya silaturrahmi atau tatap muka secara langsung yang
menjadi budaya yang khas dan sangat dihormati oleh masyarakat. Sehingga,
menurut hemat penulis, hal-hal yang demikian dengan serta merta mengarahkan masyarakat
kepada kehidupan yang sangat individualis serta mulai menggeser sebuah term dasar manusia yakni sebagai makhluk
sosial.
Jika
hal ini kemudian terus berlanjut (teknologi internet
menjadi candu yang negatif dalam kehidupan), apa yang dikatakan oleh Thomas
Khun tentang paradigma sebagai sebuah konsensus dalam pengetahuan manusia, akan
menjadi sebuah kebenaran yang mutlak dalam masyarakat modern. Sebabnya tak lain
adalah adanya kesepakatan dalam masyarakat berteknologi yang menjadikan teknologi internet
sebagai sebuah paradigma baru yang memiliki kekuatan dalam merubah pola pikir
dan perilaku ummat manusia.
Selain
itu, dapat pula dikatakan bahwa ada semacam sebuah kesepakatan dalam
pengetahuan manusia yang menghalangi sebuah pengetahuan yang berupa paradigma
(bisa dikatakan secara eksplisit seperti itu) yang mengelilingi kehidupan
manusia itu sendiri. Sehingga teknologi internet ini kemudian
dapat dikategorikan, ketika ia menjadi candu, sebagai sebuah paradigma yang
tidak rasional dalam kehidupan manusia. Bahkan yang lebih
parah lagi, kebiasaan ‘berseluncur’ di dunia maya melalui teknologi internet
ini, pada titik tertentu telah menjadi habitus
(meminjam instilah Bourdieu) dalam masyarakat modern, yang tentunya arah
dari hal tersebut adalah munculnya teknologi internet sebagai sebuah ‘candu’
baru dalam pola konsumsi kehidupan masyarakat modern.
Untuk
itu penting untuk kembali merefleksikan keberadaan dan fungsi sejati dari teknologi internet
itu sendiri dan tekhnologi modern secara umum dalam kehidupan keseharian
manusia. Sebab jika tidak demikian maka keberadaan manusia sebagai sebuah
individu yang kolektif, perlahan akan bergeser ke arah yang semakin tidak
menentu dan akan semakin memperjelas degradasi yang terjadi dalam moralitas
individu yang dimilikinya, terutama dalam menjaga harmonisasi dalam hubungan
antar individu.
Namun,
perlu dicatat, bahwa bukan berarti manusia mesti menjauhi teknologi internet ini.
Sebab yang demikian itu juga merupakan sebuah hal yang penting, utamanya dalam
mengakses informasi yang saat ini serba digital. Asalkan pemanfaatannya
tersebut tepat guna dan dengan porsi yang secukupnya.
B.
Analisis Kritis Terhadap
Keberadaan Teknologi Internet
sebagai Sarana Teknologi Informasi Dan Komunikasi Modern
Teknologi internet sebagai sebuah implikasi dari perkembangan dan inovasi
teknologi dalam dunia informasi dan komunikasi, yang menjelma menjadi sebuah
‘alat’ baru dalam teknologi yang dimanfaatkan oleh manusia dalam memperoleh
informasi di sekitarnya serta dalam kehidupan kesehariannya dan
melakukan hubungan komunikasi antar individu yang satu dengan individu yang
lainnya, telah menjadi sesuatu yang bukan lagi baru dalam
konteks kehidupan masyarakat modern. Diawali dengan
lahirnya komputer di era 1960-an, maka dalam perkembangan selanjutnya teknologi
internet pun lahir sebagai sebuah jawaban atas fenomena komunikasi dan
informasi yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia modern.
Manusia
pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang membutuhkan individu-individu yang
lain sebagai bentuk dari eksistensi dirinya dalam lingkungan dimana ia berada.
Untuk itu, sangatlah diperlukan komunikasi yang terjalin dua arah antara
individu-individu tersebut, dalam bahasa Habermas (2009) agar tercipta
sebuah ruang publik yang adil dan setara tanpa sekat pembatas dalam
lingkungannya. Begitupun juga dengan persoalan-persoalan yang terjadi di
sekelilingnya, mesti diketahui oleh individu-ndividu lain di sekitarnya, agar
kolektifitas dalam masyarakat tersebut tetap terjaga sebagaimana mestinya.
Informasi
dan komunikasi yang demikian menjadi sangat penting
dan memiliki jangkauan yang cukup luas, utamanya dalam konteks kekinian dalam
masyarakat modern. Dimana masyarakat modern saat ini identik dengan kesibukan
dan individualitas kehidupannya, namun juga tidak
dengan serta merta melepaskan atau melupakan unsur kolektifitas
dirinya ketika kembali ke dalam masyarakatnya. Sehingga dalam persoalan ini,
kemudian dibutuhkan sebuah sarana atau alat untuk menggali atau mendapatkan
informasi yang lebih cepat dan instan, agar setiap kejadian yang terjadi tidak
terlewatkan begitu saja.
Dalam
hal ini kemudian teknologi internet lahir sebagai
sebuah jawaban atas persoalan tersebut, yang kemudian meretas batas-batas ruang
dan waktu yang melingkupi kehidupan manusia. Teknologi internet ini
kemudian berkembang menjadi sebuah teknologi baru yang sangat
memudahkan manusia mengakses setiap arus informasi
yang terjadi disekitarnya. Selain itu teknologi internet ini pun,
dalam perkembangannya dapat dijadikan sebagai sebuah
alat komunikasi sosial, yang bahkan menghapus sekat-sekat pembatas yang
membatasi individu yang satu dengan individu yang lain.
Namun,
dengan terhapusnya sekat-sekat pembatas diantara manusia tersebut,
keberadaan teknologi internet dalam konteks kekinian kemudian
dengan serta merta merubah pola komunikasi dan pergaulan manusia modern yang
cukup hanya melalui dunia maya saja. Hal ini sejatinya mendistorsi dan mengaborsi
hakikat keberadaan teknologi internet itu sendiri sebagai alat atau sarana
informasi dan komunikasi modern. Sehingga dengan sendirinya manusia pun
kemudian mengalami determinasi (sebagaimana yang dikatakan oleh Ellul dalam van Bossche, 2013: 5-6 dan 10) yang cukup mendalam
dalam persoalan ini.
Mengapa terdeterminasi? Sebab melalui teknologi internet
manusia dipengaruhi oleh ide dan fantasi yang sangat berlebihan, sehingga pada
akhirnya semakin menjauh dari hakikatnya sebagai manusia. Apa yang dibawa oleh teknologi
internet melalui pesan dan gambar-gambarnya lewat organisasi tekniknya adalah
sebuah ideology, yang dalam kacamata Baudrillard (2004: 154) disebutkan sebagai
sebuah dunia yang bisa divisualkan dengan baik. Sehingga menurutnya, pesan dan
gambar-gambar tersebut membawa ideologi dari semua kekuatan sistem pembacaan
menjadi sistem tanda.
Selain hal di atas, ada juga hal menarik dalam melihat
fenomena keberadaan teknologi internet ini dalam konteks masyarakat modern. Hal
tersebut adalah teknologi internet sebagai salah satu jenis media semakin
kehilangan ruh atau fungsi dasarnya sebagai alat penyampai informasi dan alat
komunikasi publik. Kehilangan fungsi dasar yang terjadi tersebut berupa
komersialisasi pesan-pesan yang tergambar di dalamnya. Sehingga pada akhirnya
dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan
keindahan (Haryatmoko, 2007: 9), terkhusus pada citra yang tergambar dalam
media komunikasi kekinian (internet).
Logika pasar pun dengan serta merta masuk ke dalamnya
dan mengarahkan pengorganisasian sistem informasi dan komunikasi yang termasuk
di dalamnya. Sebabnya tak lain adalah banyak pimpinan media yang berasal dari
dunia perusahaan yang mau membenarkan logika pasar tersebut (Haryatmoko, 2007:
9). Sehingga peran media dalam memberikan citra yang baik kepada khalayak umum
pun semakin kabur karena hal tersebut bisa dipesan berdasarkan pembayaran atau
penawaran tertinggi yang bisa dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang menginginkan
sebuah pencitraan yang baik bagi dirinya ataupun kelompoknya. Dalam hal inilah
kemudian teknologi internet (dan media secara umum) menjadi sebuah candu yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern.
Dengan demikian, dalam hal ini, segala bentuk pesan yang
ada dan telah tergambarkan dalam teknologi internet tersebut, merupakan bentuk
pencitraan yang mendiskualifikasi kategori kebenaran karena pencitraan
merancukan kebenaran (Haryatmoko, 2007: 13). Yang terjadi kemudian hanyalah
sebuah rekayasa yang mendorong konsumsi atas citra yang tergambar dalam
pesan-pesan dalam teknologi internet tersebut sebagai sebuah kebenaran yang
mutlak, sehingga kemudian sulit dibedakan yang mana yang murni realitas,
representasi kepalsuan, simulasi ataupun hiperealitas (dalam bahasa
Baudrillard). Sebabnya tak lain adalah rekayasa yang terjadi tersebut telah
menelusup masuk ke dalam celah-celah nilai, gagasan ataupun opini yang sedang
tersampaikan, sehingga interpretasi yang lahir atas pesan ataupun informasi
tersebut semakin menjauhkan atau bahkan mengaburkan dari hal yang sebenarnya
terjadi di balik informasi tersebut.
Contoh nyata dari informasi yang direkayasa sedemikian
rupa tersebut (baik dalam medium yang menggunakan teknologi internet ataupun
dalam media secara umum) adalah berupa iklan yang mencitrakan atau menawarkan
sebuah gambaran, yang dalam konteks bahasa iklan biasanya dapat dijelaskan
dengan gambaran mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Piliang, 2003:
287), kemudian diada-adakan sebagai sebuah bentuk atau citra yang real dalam
kehidupan manusia. Dalam hal ini, menurut Piliang (2003: 287) citra tersebut
digunakan untuk mengorganisir relasi konsumsi, serta relasi sosial yang
terbentuk di dalam proses konsumsi tersebut (satus sosial, kelas sosial, dan
prestise sosial). Sehingga dengan demikian, citra tersebut dengan sendirinya
dapat menggambarkan sebuah realitas kehidupan yang mencerminkan kelas atau
status dan prestise sosial yang terdapat di dalam masyarakat, atau dengan kata
lain (meminjam istilah Marx) citra tersebut merupakan sebuah fetisisme komoditi
(commodity fetishisme) yang
mencerminkan sebuah hubungan dalam kehidupan sosial.
Dalam perkembangan teknologi yang semakin pesat saat
ini, apalagi dengan adanya teknologi internet, teknologi citra atau pencitraan
menjadi sebuah strategi pemasaran, penjualan atau pengkonsumsian yang sangat signifikan, karena sangat mudah
menyapa kehidupan keseharian masyarakat, terkhusus dalam dunia sosial, ekonomi
dan politik. Sebab segala yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut butuh
sebuah sarana untuk dicitrakan (atau lebih tepatnya diiklankan) agar tercapai
sebuah tujuan yang tepat sasaran. Maka tidak salah jika di dalam sistem
periklanan dijumpai konsep-konsep, gagasan, tema atau ide-ide yang dikemas dan
ditanamkan pada sebuah produk untuk dijadikan sebagai sebuah memori publik
dalam rangka mengendalikan diri (hasrat) mereka (Piliang, 2003: 288).
Sehingga teknologi internet akhirnya dijadikan sebagai
sebuah instrumen utama dalam menguasai kehidupan dan jiwa manusia modern, yang
membentuk dan mengatur tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Teknologi
internet kemudian, dalam masyarakat konsumeris, menjadikan sebuah benda yang
tidak berguna menjadi sangat berguna, sebuah benda yang tidak diperlukan
menjadi sangat diperlukan dan benda yang aslinya tidak dibutuhkan menjadi
sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, citra (yang tergambar dalam teknologi internet)
mengkomunikasikan konsep diri setiap orang yang dipengaruhinya (Piliang, 2003:
288).
Hal seperti diatas sejatinya telah mengarahkan
masyarakat modern kepada sebuah pandangan yang absurd (yang kemudian menjadi candu), yang mana masyarakat tidak
lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, serta yang mana yang
benar-benar real dan yang mana yang hanya berupa rekayasa atau hanya sekedar
sebagai sebuah issu. Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam suatu hal yang
berlebihan akan realitas (hiperrealitas). Dalam hal ini, Baudrillard (1983) pun
berkesimpulan bahwa dalam dunia hiperealitas, kesemuan dianggap lebih nyata ketimbang
kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar dari pada sebuah kebenaran. Issu
atau opini lebih dipercaya ketimbang sebuah informasi, bahkan rumor dianggap
lebih benar daripada suatu hal yang kebenarannya adalah sesuatu yang telah
terbukti.
Persoalan yang dipaparkan diatas merupakan sebuah
wujud atau model dari simulasi atas realitas yang dilakukan oleh media dan
terkhusus oleh teknologi internet, yang mana memanipulasi segala bentuk gambar
agar didapatkan sebuah kenyamanan absurd yang dikehendaki oleh masyarakat
modern. Tentu saja hal tersebut bertujuan untuk tercapainya sebuah dominasi
(meminjam istilah Bourdieu) dalam konteks kehidupan masyarakat modern. Sehingga
apa yang tergambar dalam teknologi internet tersebut (melaui proses simulasi
yang dilakukannya) dapat mengarahkan penggunanya untuk lebih percaya terhadap
apa yang sedang dicitrakan dihadapan mereka sebagai sebuah realitas.
Dari pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa sejatinya
teknologi internet merupakan bagian atau salah satu model dari simulasi komunikasi
dan informasi yang dilakukan oleh media, khususnya dalam mencitrakan sebuah
bentuk yang penuh dengan manipulasi di dalamnya. Sebab sebagaimana yang
dinyatakan oleh Yasraf Amir Piliang (2003: 134) bahwa simulasi adalah citra
tanpa referensi (suatu simulacrum) dan ini terjadi dalam medium yang
menggunakan teknologi internet. Simulakrum sendiri dapat dipahami sebagai
sebuah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat modern atas tanda (Piliang, 2003:
134), atau penampakan yang menyatakan diri sebagai realitas (Petit Robert dalam
Haryatmoko, 2010: 23). Baudrillard (1983) sebagai pencetus teori simulasi
tersebut (berdasarkan pengaruh dari Marshall McLuhan dalam pemikirannya) menggunakannya
untuk membandingkan sebuah model dengan realitas, yang mana hal tersebut
dilakukan atau dibuat berdasarkan hasil acak dari model yang dibandingkan (atau
lebih tepatnya direpresentasikan) dengan realitas itu sendiri.
Selanjutnya, apa yang
digambarkan dalam teknologi internet diatas, sejatinya mengarahkan pada suatu
implosi yakni proses kemunduran social membawa ke hancurnya batas-batas:
ledakan makna dalam media dan ledakan media dan social ke dalam massa, yang
pada akhirnya mengarahkan pada hal yang membosankan, menjenuhkan atau bahkan
membingungkan (Haryatmoko, 2013). Hal tersebut, dalam bahasa Baudrillard (1983:
57) dikatakan sebagai awal mula dari proses simulasi secara keseluruhan. Karena
makna tidak lagi dapat dibedakan, yang mana yang bermakna positif dan yang mana
yang bermakna negatif, yang pada akhirnya terbentur pada kejenuhan atau
kegamangan dalam pemaknaan pada ranah kehidupan social.
Tanda pun, dalam medium yang
menggunakan teknologi internet, hanya dimaknai sebatas sebagai sebuah petanda,
bukan sebagai sebuah penanda. Sebabnya karena tanda yang dimaknai bukan atau
tidak lagi berkaitan dengan realitas. Menurut Baudrillard (1983:12), hal
tersebut dikarenakan terjadi pengembangbiakan mitos-mitos (dalam tanda
tersebut) akan asal-usul (origin) dan
tanda realitas, kebenaran pun hanya sebatas objektifitas dan keaslian yang
kedua (second hand).
Segala hal dan proses yang
terjadi dan diselimuti oleh teknologi internet diatas, kemudian berujung pada
sebuah absurditas ganda yang dikonsumsi (yang kemudian menjadi candu) oleh
public sebagai sebuah kebenaran, yang mana pada satu sisi berdampak positif dan
disisi lain berdampak negatif. Akhirnya yang berlangsung pun bukan lagi
representasi atas yang real, melainkan penciptaan yang hiperreal (Haryatmoko,
2010: 23). Bahkan yang lebih buruk lagi
dalam proses yang berlangsung dalam teknologi internet tersebut, kemudian
membangkitkan secara artificial system tanda karena tanda merupakan materi yang
lebih muda dibentuk dari pada makna, bukan lagi masalah imitasi atau
reduplikasi dan bukan pula parodi, tetapi masalah menggantikan tanda-tanda yang
real sebagai yang real itu sendiri (Haryatmoko, 2010: 24), yang menghapus
segala macam bentuk acuan atas realitas.
Dengan kata lain, simulasi
atau pencitraan dalam medium yang menggunakan teknologi internet dengan
sendirinya mengawali sebuah era baru dalam kehidupan masyarakat modern,
khususnya dalam kehidupan kesehariannya, yakni era virtualitas yang disebut
oleh Baudrillard (1983) sebagai era hiperrealitas. Dimana simulasi dijadikan
sebagai sebuah acuan dan instrument operasional dalam menanamkan sebuah
kesemuan dalam realitas masyarakat modern. Hal ini jelas dapat dilihat dari
atau ditandai dengan hilangnya petanda dan metafisika representasi, runtuhnya
ideology dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi
dari dunia nostalgia dan fantasi (Piliang, 2003: 135). Dalam kacamata
Baudrillard (1983: 142) dikatakan bahwa hiperrealitas pun menjadi realitas pengganti
realitas, pemujaan (fetish) objek
yang hilang bukan lagi objek representasi, melainkan ekstase penyangkalan dan
pemusnahan terhadap ritualnya sendiri (realitas).
Masyarakat
modern pun dalam era virtualitas
komunikasi dan informasi yang identik dengan penggunaan teknologi internet, perlu
dipahami sebagai masyarakat modern yang identik dengan
konsumsi yang naif dan hiperreal (meminjam istilah
Budrillard) dan dunia yang serba digital sehingga dunia ini seperti dapat
dilipat (meminjam istilah Piliang) agar keterpenuhan konsumsi akan informasi
tersebut dapat dengan segera terpenuhi. Sehingga ada semacam habitus baru dalam masyarakat (meminjam
istilah Bordieu) untuk menjadikan teknologi internet ini
sebagai sebuah ‘candu’ dalam budaya pop yang berkembang saat ini. Teknologi internet pun memainkan perannya
dalam kehidupan manusia modern dalam hal informasi dan komunikasi yang
menjalankan sebuah fungsi kontrol atau lebih tepatnya strategi
dominasi, agar manusia menjadi sebuah masyarakat yang konsumtif dan sangat
tergantung dengan keberadaannya, yang pada akhirnya mengontrol dan menguasai
kesadarn manusia sehingga semakin teraleniasi dan terderminasi dari dunianya.
Sehingga apa yang sebenarnya terjadi kini dengan
adanya teknologi internet ini adalah keterjebakan dalam ruang ideologis dalam
mencerap segala macam bentuk informasi, yang mana ditandai dengan timbulnya
ekosistem baru dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi, yakni kebiasaan
(atau lebih tepatnya kecanduan) menggunakan teknologi internet sebagai sarana
yang lebih praktis mendapatkan informasi. Dalam hal ini, persoalan yang
terbesar yang dihadapi oleh media secara umum adalah kehadiran teknologi
internet yang kemudian memisahkan (atau bahkan sulit untuk dibedakan) iklan dan
berita. Sehingga menurut Kovach dan Rosenstiel (2012: 7) perubahan mendasar
dalam hal ini adalah lebih pada porsi tanggung jawab social yang dimiliki oleh
media (terkhusus pada media yang mengandalkan teknologi internet sebagai
medium), yang mana untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar,
kini tergantung pada setiap individu yang memanfaatkan teknologi internet
tersebut.
C.
Dampak
Keberadaan Teknologi Internet dalam Kehidupan Modern
Keberadaan teknologi
internet sebagai sebuah teknologi yang
dijadikan sebagai sebuah alat atau sarana komunikasi dan informasi
dalam masyarakat modern, telah menimbulkan beberapa dampak, baik itu
positif maupun negatif, yang pada tataran selanjutnya teknologi internet
ini menjadi sebuah ‘candu’
pada masyarakat modern. Bahkan, fenomena
keberadaan teknologi internet tersebut telah mengontrol
kehidupan manusia, baik itu dari aspek positif maupun negatif, khususnya dalam
pengembangan pengetahuan dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi saat
ini. Dalam hal ini, ‘candu’ dari teknologi internet pun
dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang yang memiliki wujud gambar yang
berbeda.
Peran teknologi internet
sebagai media yang sangat dominan dalam pembentukan opini public, tidak bisa
diabaikan begitu saja, terkhusus dalam persoalan konsumsi informasi atau berita
dan gaya hidup pada kehidupan keseharian masyarakat modern. Hal ini dikarenakan
sarana yang paling tepat untuk digunakan di tengah derasnya arus perkembangan
teknologi saat ini adalah media yang berupa layanan teknologi internet yang
lebih cepat dapat diakses kapan pun dan dimana pun, dan teknologi internet ini pula
salah satu bentuk media yang sangat dipercayai dan banyak digunakan oleh public
sebagai penyampai berita atau setidaknya yang paling representatif dalam
menyampaikan keadaan yang terjadi di sekitar kehidupan masyarakat. Jelas hal
ini di satu sisi menimbulkan sebuah dilema yang besar dalam kehidupan social
masyarakat, karena mereka sangat percaya terhadap apa yang disampaikan oleh
media melalui teknologi internet. Begitupun juga sebaliknya, juga menjadi
sebuah dilema terhadap objektifitas media (terkhusus yang mengandalakan diri
pada teknologi internet), karena kebanyakan media dimiliki oleh kalangan
pengusaha (sekaligus politisi), yang tentunya berorientasi pada keuntungan
pribadi semata (tentang daftar pemilik dan group media
massa tersebut, lihat majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012 hal. 6 dan
37). Akhirnya teknologi internet
pun dengan sendirinya menciptakan simulasi atau pencitraan demi kelangsungan
kepentingan pemilik dan para pelakunya tersebut.
Sejatinya segala bentuk dan
proses yang berlangsung dalam media yang menggunakan teknologi internet, jika
dilihat dari kacamata Baudrillard (1983: 11), sedang mendiskualifikasi kategori kebenaran (yang hanya memberikan tanda untuk
dikonsumsi), sehingga tidak ada lagi pembedaan antara realitas, representasi, simulasi,
kepalsuan dan hiperrealitas.
Informasi yang diinfokan melalu media, terkhusus pada media yang memanfaatkan
teknologi internet, pun dengan sendirinya dianggap sebagai sebuah kenyataan
yang benar-benar terjadi. Padahal dalam hal ini, teknologi internet sedang
menjalankan simulasi yang seakan-akan nyata, dimana realitas berlalu begitu
saja seakan-akan hanya representasi atau simulasi (Haryatmoko, 2010: 33).
Hal inilah yang kemudian menjadi konsumsi publik dan
menjadi ‘candu’ dalam masyarakat modern, yang
menghasilkan absurditas ganda yang
memiliki dua implikasi, positif dan negative. Dari sisi positif, publik menjadi lebih kritis dan lebih jeli dalam melihat atau merespon setiap hal yang
terdapat di dalamnya. Namun dari sisi negatifnya, publik
menjadi lebih hedonis dan apatis terhadap realitasnya. Sehingga ketika terjadi sebuah peristiwa
atau bencana di tempat lain, seseorang hanya bisa merasakan atau turut
bersimpati pada saat itu saja tanpa ada bekas di masa yang akan datang, atau
justru sebaliknya, merasa bersyukur karena bencana tersebut tidak menimpa
dirinya dan melupakan atau mengenyampingkan kepedihan yang dirasakan oleh orang
lain yang sedang mengalami peristiwa atau bencana tersebut. Bahkan yang lebih
parah lagi adalah para pengguna layanan teknologi internet tersebut rela untuk
‘duduk manis’ berjam-jam demi mengkonsumsi segala macam layanan yang terdapat
dalam teknologi internet, sehingga melupakan statusnya sebagai makhluk sosial.
Dalam hal ini, menurut
Haryatmoko (2007: 35), media (dalam hal ini media yang menggunakan teknologi internet)
sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan
dan inisiatif, tetapi ia justru semakin membuat penikmatnya tergantung dan
kompulsif. Apalagi logika pasar yang bermain dalam media juga sangat berperan
besar dalam mempengaruhi setiap content atau isinya, sehingga yang dihasilkan
kemudian adalah komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak
terkontrol yang mengarahkan pada sebuah penanaman sebuah ideology yang cukup
serius, yakni ideology pasar. Olehnya itu, sangat sulit bagi media yang
menggunakan teknologi internet (dan media secara umum) untuk keluar dari logika
pasar tersebut dan membentuk pikiran kritis dan penilaian yang refleksif dan
objektif.
Selain itu, informasi yang
disampaikan atau dikemas dalam layanan teknologi internet tersebut, dalam
bahasa Haryatmoko (2010: 267) memiliki kecenderungan hanya sebatas menjajakan tanda, yang menghilangkan representasi dari kenyataan. Pada akhirnya masyarakat pun didorong untuk mengkonsumsi tanda yang dijamin benar-benar merupakan representasi
dari yang real, yang menghantarkan pada
rasa penasaran, bukan pada persamaan kepentingan yang dimiliki oleh keduanya. Efek dari model ini (penyampaian
informasi media melalui teknologi internet dan media secara keseluruhan) adalah pemiskinan komunikasi yang hanya menjadi dan dimaknai sebatas tanda semata (Haryatmoko, 2010: 266), dimana setiap informasi dan komunikasi dibuat aktual dan berlebihan, yang pada akhirnya sampai pada melampaui kebenaran, realitas dan objektifitas, atau dalam terminologi Baudrillard sebagai
hiperrealitas.
Hal diatas sejatinya semakin diperparah lagi dengan adanya ‘logika waktu pendek’ (meminjam istilah Lipovetsky: short-term logic) yang dimainkan dalam media yang menggunakan
layanan teknologi internet dan media secara umum. Yang mana apa yang
disampaikan oleh media yang menggunakan layanan teknologi internet tersebut lebih
mementingkan kecepatan ketimbang ketepatan atau keakuratan pesan, sehingga
kemudian lahirlah pesan-pesan atau gambar-gambar dan tayangan-tayangan langsung
(live) dari tempat kejadian, yang
seolah merepresentasikan atau menggambarkan situasi yang sedang terjadi di
lokasi kejadian tersebut. Hal-hal semacam inilah yang selama ini menjadi godaan
terbesar yang selalu menggangu media (termasuk media yang menggunakan layanan
teknologi internet di dalamnya), yang dalam pandangan para pelakunya, lebih
baik segera menyampaikan informasi kepada public, baru kemudian dicek, daripada
basi atau sudah disampaikan lebih dulu oleh media lain (Haryatmoko, 2007: 39).
Bentuk-bentuk semacam inilah mungkin yang dapat dikategorikan sebagai mimetisme (meminjam istilah Ramonet
dalam Haryatmoko, 2007: 22) yang sedang berlangsung dalam media yang
mengguanakan layanan teknologi internet hari ini, dimana para pelaku media
ditumbuhi semacam ‘mental ikut-ikutan’ terhadap media lain (khususnya yang
dianggap dapat menjadi media acuan) yang sedang mewacanakan atau mewartakan
sesuatu peristiwa atau kejadian yang dianggap penting untuk disampaikan ke
hadapan public.
Dampak lain dari keberadaan
teknologi internet ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari para
pengamat media sendiri, yakni apakah kebenaran masih memiliki arti dalam
kehidupan manusia? sebab di era baru informasi yang serba virtual dan digital
ini, realitas hanyalah masalah keyakinan, bukan tentang sesuatu yang objektif
atau terverifikasi (Kovach dan Rosenstiel, 2012: 6), atau dengan kata lain,
semuanya (pesan) kemudian dipenuhi dengan spekulasi-spekulasi yang bukannya
mengkonfirmasi kebenaran tersebut melainkan mengafirmasinya. Sehingga dalam hal
ini poros media pun, dengan keberadaan teknologi internet ini, kemudian beralih
dari era informasi ke era afirmasi.
D. Kesimpulan
Keseluruhan dari pemaparan
diatas, jika berangkat dari pandangan McLuhan (.....) tentang ‘medium is message’, sejatinya ingin
menunjukkan bagaimana keberadaan teknologi internet dalam kehidupan masyarakat
modern saat ini hanya dijadikan sebagai sebuah sarana untuk memenuhi gaya hidup
(lifestyle) dan dijadikan sebagai
media yang membawa pesan konsumsi kepada publik, khususnya dalam derasnya arus
perkembangan sarana informasi dan komunikasi kekinian, yang juga didukung oleh
pesatnya perkembangan teknologi. Sehingga apa yang menjadi dampak paling
signifikan dari keberadaan dari teknologi internet ini adalah lahirnya sebuah
‘candu’ dalam masyarakat modern yang menjadikan teknologi internet sebagai alat
pemuas hasratnya dalam mendapatkan informasi dan melakukan proses komunikasi.
Selain itu, ‘candu’ dari teknologi
internet tersebut ibarat sebuah pesan dari masa depan yang dipenuhi dengan
kemajuan teknologi yang dapat mengubah kehidupan manusia secara lebih baik.
Dengan kata lain, sebagaimana yang dikatakan oleh McLuhan dalam from Understanding Media (…..: 66) bahwa
pesan pada setiap media atau teknologi merupakan bentuk perubahan skala,
langkah atau pola yang memperkenalkan kreatifitas dalam urusan kehidpan manusia (the ‘message’ of any medium or technology
is the change of scale or pace or pattern that it introduces into human
affairs).
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean, 1983, Simulations, Semiotext(e), New York, USA.
__________, 2004, Masyarakat
Konsumsi, terj.: Wahyunto, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
van
Den Bossche, Mark, 2013, Materi Pada Perkuliahan tentang
Jacques Ellul dalam Mata Kuliah Filsafat Teknologi, Program Master Ilmu
Filsafat UGM, Yogyakarta.
Habermas,
Jurgen, 2009, Teori Tindakan Komunikatif
(Buku Satu): Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Haryatmoko, 2007, Etika
Komunikasi, Kanisius, Yogyakarta.
__________, 2010, Dominasi
Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
__________, 2013, Materi Pada Perkuliahan Tentang Jean
Baudrillard dalam Mata Kuliah Filsafat Sosial, Program Master Ilmu Filsafat
UGM, Yogyakarta.
Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom, 2012, BLUR: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era
Banjir Informasi, terj.: Imam Shofwan dan Arif Gunawan Sulistiyono, Dewan
Pers, Jakarta.
Majalah
Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012.
McLuhan, Marshall, 1964, from Understanding Media, dalam Philosophers of The Technological Age,
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra,
Bandung.
__________, 2005, Transpolitika:
Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta &
Bandung.
okay, sama2.
BalasHapus