Oleh: Muh. Abdi Goncing
Dalam
kehidupan sosial-politik kontemporer, pencitraan merupakan sesuatu yang sangat
urgen dalam setiap perilaku yang melingkupinya. Sebab segala usaha yang
berkaitan dengan hal tersebut, tanpa melalui medium pencitraan, akan dirasa
sebagai sesuatu yang hambar dan sia-sia. Sehingga apa yang penting dan apa yang
tidak penting untuk diketahui oleh setiap orang yang menjadi sasarannya akan
menjadi semakin kabur. Bahkan lebih parah lagi, akan menimbulkan sebuah efek
domino bagi sebuah tatanan masyarakat dan paradigma tentang kehidupan
sosial-politik yang sedang berlangsung dalam masyarakat umum.
Logika
pasar pun dengan serta merta masuk ke dalam media dan mengarahkan
pengorganisasian sistem informasi dan komunikasi yang terdapat di dalamnya.
Sebabnya tak lain adalah banyak pimpinan media yang berasal dari dunia
perusahaan yang mau membenarkan logika pasar tersebut (Haryatmoko, 2007: 9).
Sehingga peran media dalam memberikan citra yang baik kepada khalayak umum pun
semakin kabur karena hal tersebut bisa dipesan berdasarkan pembayaran atau
penawaran tertinggi yang bisa dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang menginginkan
sebuah pencitraan yang baik bagi dirinya ataupun kelompoknya.
Hal
tersebut diatas merupakan sekelumit persoalan yang dialami oleh media sebagai
salah satu (atau mungkin satu-satunya) sarana pencitraan dalam kehidupan
social-politik kontemporer. Pencitraan oleh media seolah merupakan hal yang
sangat penting guna menggambarkan sebuah realitas yang terjadi dalam kehidupan
keseharian manusia. Sehingga dengan sendirinya masyarakat kemudian percaya
dengan pesan yang diberikan oleh media tersebut tanpa perlu lagi mempertanyakan
keabsahannya.
Pada akhirnya pencitraan yang ada tidak lagi bebicara
tentang benar dan salah ataupun layak dan tidak layak. Namun yang terpenting
adalah citra yang tergambar tersebut adalah representasi dari peristiwa yang
sedang terjadi. Sehingga dalam model pencitraan yang demikian, segala macam
bentuk analisis ataupun interpretasi bisa saja benar dan bahkan bisa saja salah
dan semakin menyesatkan opini publik yang juga sedang berlangsung disaat yang
bersamaan.
Dengan demikian, segala bentuk pesan yang ada dan telah
tergambarkan tersebut merupakan pencitraan yang mendiskualifikasi kategori
kebenaran karena pencitraan merancukan kebenaran (Haryatmoko, 2007: 13). Yang
terjadi kemudian hanyalah sebuah rekayasa yang mendorong pencitraan sebagai
sebuah kebenaran yang mutlak, sehingga kemudian sulit dibedakan yang mana yang
murni realitas, representasi kepalsuan, simulasi ataupun hiperealitas (dalam
bahasa Baudrillard). Sebabnya tak lain adalah rekayasa yang terjadi tersebut
telah menelusup masuk ke dalam celah-celah nilai, gagasan ataupun opini yang
sedang tersampaikan, sehingga interpretasi yang lahir atas pesan ataupun
informasi tersebut semakin menjauhkan atau bahkan mengaburkan dari hal yang
sebenarnya terjadi di balik informasi tersebut.
Contoh nyata dari informasi yang direkayasa sedemikian
rupa tersebut adalah berupa iklan yang mencitrakan atau menawarkan sebuah gambaran
yang dalam konteks bahasa iklan biasanya dapat dijelaskan dengan gambaran
mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Piliang, 2003: 287), kemudian
diada-adakan sebagai sebuah bentuk atau citra yang real dalam kehidupan
manusia. Dalam hal ini, menurut Piliang (2003: 287) citra tersebut digunakan
untuk mengorganisir relasi konsumsi, serta relasi sosial yang terbentuk di dalam
proses konsumsi tersebut (satus sosial, kelas sosial, dan prestise sosial).
Sehingga dengan demikian, citra tersebut dengan sendirinya dapat menggambarkan
sebuah realitas kehidupan yang mencerminkan kelas atau status dan prestise
sosial yang terdapat di dalam masyarakat, atau dengan kata lain (meminjam
istilah Marx) citra tersebut merupakan sebuah fetisisme komoditi (commodity fetishisme) yang mencerminkan
sebuah hubungan dalam kehidupan sosial.
Dalam perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini,
teknologi citra atau pencitraan menjadi sebuah strategi pemasaran, penjualan
atau pengkonsumsian yang sangat
signifikan, terkhusus dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebab segala
yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut butuh sebuah sarana untuk dicitrakan
(atau lebih tepatnya diiklankan) agar tercapai sebuah tujuan yang tepat
sasaran. Maka tidak salah jika di dalam sistem periklanan dijumpai
konsep-konsep, gagasan, tema atau ide-ide yang dikemas dan ditanamkan pada
sebuah produk untuk dijadikan sebagai sebuah memori publik dalam rangka
mengendalikan diri (hasrat) mereka (Piliang, 2003: 288).
Sehingga citra akhirnya dijadikan sebagai sebuah
instrumen utama dalam menguasai kehidupan dan jiwa manusia modern, yang
membentuk dan mengatur tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Citra
kemudian, dalam masyarakat konsumeris, menjadikan sebuah benda yang tidak
berguna menjadi sangat berguna, sebuah benda yang tidak diperlukan menjadi
sangat diperlukan dan benda yang aslinya tidak dibutuhkan menjadi sangat
dibutuhkan. Dalam hal ini, citra mengkomunikasikan konsep diri setiap orang
yang dipengaruhinya (Piliang, 2003: 288).
Dari sinilah nantinya akan dilihat dalam tulisan ini,
bagaimana citra atau pencitraan tersebut menstimulus (atau lebih tepatnya mensimulasi)
hasrat setiap masyarakat modern untuk senantiasa terjerat oleh rayuan informasi
sosial-politik yang disebarkan oleh media atau iklan social-politik yang
terdapat dalam media massa sebagai sebuah model konsumsi social-politik baru,
yang kemudian dengan serta merta mengamini kebenarannya. Selain itu juga, akan
dilihat seperti apa bentuk dari tahap-tahap pencitraan yang dijelaskan oleh
Baudrillard sendiri dalam teori simulasinya dan apa saja sarana yang berperan
penting dalam proses pencitraan (simulasi) tersebut dalam kehidupan masyarakat modern.
Sebab perlu dipahami bahwa simulasi sendiri, pada pembahasan selanjutnya akan
dibahas lebih rinci, merupakan citra tanpa referensi atau suatu bentuk dari
simulakrum yang berujung pada sebuah hiperealitas yang dikonsumsi oleh publik
yang pada akhirnya menghasilkan implikasi yang berupa absurditas ganda.
B.
Sekilas
Tentang Kehidupan, Karya-karya dan Pengaruh Serta yang Mempengaruhi Pemikiran
Jean Baudrillard
Jean
Baudrillard lahir di Reims, Prancis pada tahun 1929. Dibesarkan dalam kelas
menengah-bawah (ayah dan ibunya dari kalangan petani dan pegawai/birokrasi
daerah). Baudrillard adalah orang pertama dari keluarganya yang bisa
melanjutkan studi lebih tinggi dari sekadar baccalauréat
(istilah bahasa Perancis untuk SMA). Meski berharap masuk ke dalam École Normale Superieure (tempat banyak
cendekiawan Prancis belajar), ia sempat terjerumus belajar sastra Jerman di
universitas La Sarbonne di Paris, dan
pekerjaan pertamanya adalah guru SMA untuk mata pelajaran bahasa Jerman
(Debrix, 2010: 71).
Publikasi
pertama karya Baudrillard adalah tinjauan dan terjemahan atas karya-karya Peter
Weiss dan Bertolt Brecht. Kemudian dengan bantuan Henri Lefebvre dan Rolan
Barthes, ketertarikan Baudrillard mulai bergeser dari bahasa ke teori
sosiologis (Debrix, 2010: 71-72). Dari sinilah bisa dilihat bagaimana pengaruh
kedua tokoh tersebut kemudian mempengaruhi pemikiran-pemikiran awal dari
Baudrillard sendiri, terkhusus pada ketertarikannya ke dalam wacana-wacana ilmu
sosial yang di masa yang akan datang dalam hidupnya menjadi karya-karyanya yang
sangat monumental, khususnya dalam ilmu sosial kritis. Sejak menggeluti dunia
sosiologis tersebut, ia pun mulai mengajar sosiologi di University of Nanterre (dekat Paris) pada tahun 1966 (Debrix, 2010:
72).
Pengaruh
sosiologi dalam pemikirannya tersebut, dapat dilihat dalam beberapa karya-karya
awalnya (meskipun lebih tepat dikategorikan sebagai karya sosiologis-filosofis
karena sangat didorong oleh sebuah hasrat yang terdapat dalam dirinya untuk melampaui
teori marxisme konvensional) seperti: the
system of objects (1968/1996), the
consumer society (1970/1998), for a
critique of the political economy of the sign (1970/1981). Niat awalnya
adalah menyediakan analisis kritis berkelanjutan atas budaya kontemporer yang
akan melepaskan penekanan kepentingan konseptual atas nilai guna dan produksi
dan menyoroti peran representasi, sistem tanda dan signifikasi objektif (Debrix,
2010: 72).
Dalam
For A Critique of The Political Economy
of The Sign, menurut Hegarty (2004: 24) Baudrillard kelihatan mulai menjauh
dari model analisis marxis dengan cara mengembangkan teori signifikasi, daya
guna dan representasi yang menggabungkan kritik politik-ekonomi dengan salah
satu tanda untuk menjalin sebuah kritik yang dapat berbicara pada ekonomi-politik
umum. Pandangan dari Hegarty tersebut tercermin dari penjelasan Baudrillard
(1981: 113) yang mengatakan bahwa saat proses produksi dan sistemasi nilai
tukar ekonomi digambarkan sebagai suatu hal yang penting, maka sebuah proses
yang sama-sama digeneralisasi secara umum kemudian telah terabaikan, hal tersebut
dikarenakan transmutasi nilai tukar ekonomi menjadi nilai tukar tanda.
Menurut
Mike Gane dalam Debrix (2010: 72),
pencarian Baudrillard pada era 1960-an atas produksi ekonomi-politik tanda
sudah menujukkan bakatnya untuk berpikir di luar struktur dan kategorisasi. Hal
ini jelas menandai bahwa usaha intelektual awal dari Baudrillard sendiri sudah
sangat dipengaruhi oleh disposisi untuk mendorong eksplorasi kritis terhadap
ekses dari pihak-pihak yang cenderung radikal dalam setiap sistem tanda, pemaknaan
atau sebuah nilai. Jelas bahwa hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dari
Roland Barthes dan Henri Lefebvre dalam masa-masa awal pemikirannya yang
cenderung mengarah pada sebuah sistem tanda.
Selanjutnya
pada fase kedua pemikirannya, Baudrillard sangatlah dipengaruhi oleh Georges
Bataille tentang accursed share dan
Marcel Mauss tentang konsumsi objek sebagai kurban persembahan (Debrix, 2010:
72). Hal tersebut tercermin dalam karyanya Symbolic
Exchange And Death (1988: 119) yang menyatakan bahwa simbol-simbol yang ada
(dalam kehidupan social, ekonomi dan politik) masih menghantui
institusi-institusi sosial modern sebagai prospek bagi kematian mereka sendiri,
namun hal tersebut hanyalah memori obsesif yang berupa permintaan (demand) yang tak henti-hentinya ditekan
oleh hukum nilai. Hal inilah mungkin yang menjadi penekanan Baudrillard mengapa
simbol-simbol yang ada tersebut sangat sulit untuk dikembalikan ke dalam sebuah
sistem sosial yang semestinya, karena menurutnya simbol-simbol tersebut
menunjukkan fluktuasi yang semakin meningkatkan suatu kesamaran dalam dunia
sosial (Baudrillard, 1988: 120).
Implikasi
yang dihasilkan dari pemikirannya tersebut adalah sebuah pandangan atau konsep
dimana masyarakat dan budaya modern telah diambil alih oleh logika nilai dan
logika pertukaran. Yang mana keduanya adalah menyangkut tentang subjek:
menciptakan subjek, menjaga subjek, dan mempertahankan subjek. Objeknya kemudian
ditiadakan atau ditidakpastikan sebagai sesuatu yang harus dimiliki,
dikumpulkan, atau diikat oleh subjek (Debrix, 2010: 72). Ketidakpastian semacam
ini adalah hasil realita sehari-hari yang telah ditelan oleh struktur, sistem
dan model produksi, representasi, dan signifikasi.
Apa
yang disampaikan diatas, jelas mengacu pada pendapat dari Baudrillard (1988)
tentang penyerapan total pengolahan ulang prinsip realitas dalam sistem nilai
dan sistem pemaknaan sebagai suatu ‘hyperreality’
dan ‘simulation’. Dalam kedua konteks
tersebut, the symbolic dan accursed
share-nya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mewujudkan diri mereka
sebagai realitas yang tersimulasi (Debrix, 2010: 73). Namun karena simulasi
justru tentang ketidakpastian dan ketidakmenentuan, maka tantangan terbesarnya
adalah kemungkinan tidak akan pernah bisanya dibedakan antara yang benar-benar
real dan yang hypereal yang berasal dari model atau kode-kode yang dominan.
Pandangan-pandangan
diataslah yang kemudian sangat mempengaruhi dan tercermin dalam serangkaian
karya-karya Baudrillard selanjutnya, seperti: Forget Foucault (1977/1987); Seduction
(1979/1990); Simulacra and Simulation
(1981/1983); Fatal Strategies (1983/1990);
America (1986/1988); Cool Memories (1987/1990); The Ecstasy of Communication (1988); The Gulf War Did Not Take Place (1991/1995);
dan The Illusion of The End (1992/1994),
serta beberapa karyanya kemudian sebelum wafatnya, yang penulis belum dapatkan.
Tulisan-tulisan
atau karya-karya Baudrillard diatas, merupakan karya-karya yang menegangkan
sekaligus menjemukan, menyenangkan sekaligus mengesalkan, membebaskan sekaligus
menakutkan atau menakut-nakuti. Sehingga dengan demikian, karya-karyanya
tersebut senantiasa menggelorakan secara terus-menerus antara realitas dan
ironi, tindakan yang tak masuk akal dan ilusi yang brilian, mobilisasi dan
ketidakpedulian, kemungkinan yang transformatif dan fatalisme telanjang, serta
kepastian intelektual dan ketidakpastian yang radikal. Mungkin bagi kebanyakan
orang, terkhusus pada para pemikir atau komentator yang tidak senang atau
kontra dengan pandangan-pandangannya dan terlalu berfikir negatif dan cendrung
berlebihan, pemikiran Baudrillard merupakan sebuah ancaman bagi
pemikiran-pemikiran yang telah mapan, sebab dapat menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi sebuah sistem
sosial, ekonomi dan politik yang sedang dibangun dalam konteks dunia modern
saat ini, yang sangat sarat dengan arena simulasi dan hiperalitas serta segala
macam bentuk pencitraan kehidupan masyarakat modern yang termasuk di dalamnya.
C.
Pencitraan
Sebagai Simulasi dalam Kehidupan Sosial-Politik Kontemporer
Keberadaan
media komunikasi dan informasi yang semakin canggih dalam kehidupan masyarakat modern,
pada dasarnya membawa sebuah implikasi yang mempengaruhi corak kehidupan masyarakat
tersebut. Sebab melalui media komunikasi dan informasi yang ada tersebut,
segala macam bentuk citra akan kebutuhan dalam kehidupan masyarakat sedang
diupayakan untuk direpresentasikan. Namun di sisi lain citra yang berusaha
direpresentasikan tersebut seringkali melampaui realitas dalam kehidupan
manusia (atau dalam bahasa Baudrillard terjadi hyperreality). Sehingga pada titik tertentu, masyarakat modern merasa
tersihir dengan adanya beraneka macam bentuk citra yang dihadapkan dihadapan
mereka, yang dengan serta merta mengamini kebenaran sihir yang diberikan atau
direpresentasikan oleh citra tersebut.
Hal
seperti diatas sejatinya telah mengarahkan masyarakat modern kepada sebuah
pandangan yang absurd, yang mana
masyarakat tidak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, serta
yang mana yang benar-benar real dan yang mana yang hanya berupa rekayasa atau
hanya sekedar sebagai sebuah issu atau wacana. Akhirnya masyarakat pun terjebak
dalam sebuah citra (pencitraan) yang berlebihan akan realitas (hiperrealitas).
Dalam hal ini, Baudrillard (1983) pun berkesimpulan bahwa dalam dunia
hiperealitas, kesemuan dianggap lebih nyata ketimbang kenyataan, dan kepalsuan
dianggap lebih benar dari pada sebuah kebenaran. Issu atau opini lebih
dipercaya ketimbang sebuah informasi, bahkan rumor dianggap lebih benar
daripada suatu hal yang kebenarannya adalah sesuatu yang telah terbukti.
Hal
yang sama pun terjadi dalam dunia social-politik, segala hal yang dicitrakan
kepada masyarakat dengan sendirinya dipercayai sebagai sebuah kebenaran yang
sesungguhnya. Padahal, jika dicermati lebih mendalam, kebanyakan citra yang
tergambar dalam dunia social-politik seringkali dibungkus oleh topeng-topeng
ajaib yang sering dikatakan sebagai sebuah iklan yang informatif atas sebuah
pencitraan social ataupun politik. Penopengan informasi serta pelacuran citra
yang semacam inilah yang pernah terjadi dan mewarnai kehidupan komunikasi
politik pada era orde baru dan mungkin juga era reformasi sekarang ini
(Piliang, 2005: 206).
Persoalan
seperti diatas merupakan sebuah wujud atau model dari simulasi atas realitas,
yang mana memanipulasi segala bentuk citra (melaui pencitraan) agar didapatkan
sebuah legitimasi atas kekuasaan dalam kehidpan social-politik yang
dikehendaki. Tentu saja hal tersebut bertujuan untuk tercapainya sebuah
dominasi kekuasaan (meminjam istilah Bourdieu) dalam konteks kehidupan social-politik.
Sehingga apa yang tergambar dalam citra tersebut (melaui proses simulasi yang
dilakukan) dapat mengarahkan konstituen untuk lebih percaya terhadap apa yang
sedang dicitrakan dihadapan mereka sebagai sebuah realitas.
Dari
pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa sejatinya sebuah pencitraan merupakan
bagian atau salah satu model dari simulasi yang dimaksudkan oleh Baudrillard.
Sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Yasraf Amir Piliang (2003: 134) bahwa
simulasi adalah citra tanpa referensi (suatu simulacrum). Simulakrum sendiri
dapat dipahami sebagai sebuah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat modern atas
tanda (Piliang, 2003: 134), atau penampakan yang menyatakan diri sebagai
realitas (Petit Robert dalam Haryatmoko, 2010: 23). Baudrillard (1983) sendiri
menggunakan simulasi untuk membandingkan sebuah model dengan realitas, yang
mana hal tersebut dilakukan atau dibuat berdasarkan hasil acak dari model yang
dibandingkan (atau lebih tepatnya direpresentasikan) dengan realitas itu
sendiri.
Untuk
itu, Baudrillard dalam karyanya simulations
(1983:11) menjelaskan empat tahap citra (pencitraan), yakni:
-
It is the reflection of a basic reality
-
It masks and perverts a basic reality
-
It masks the absence of a basic reality
-
It bears no relation to any reality. Whatever: it is its own pure
simulacrum.
Dalam penjelasan
selanjutnya mengenai tahap pencitraan ini, Baudrillard (1983: 11-12)
menjelaskan:
In the first case, the image is a good appearance – the representation
is of the order of sacrament. In the second, it is an evil appearance – of the
order of malefice. In the third, it plays at being an appearance – it is of the
order of sorcery. In the fourth, it is no longer in the order of appearance at
all, but of simulation.
Tahap-tahap
yang dijelaskan oleh Baudrillard diatas, jelas menunjukkan bahwa citra yang
sampai pada masyarakat modern telah mensimulasi (atau lebih tepatnya
memanipulasi) pandangan masyarakat itu sendiri atas realitas yang terjadi di
sekitarnya. Sehingga jika dilihat lagi tahapan-tahapan diatas, masyarakat
sejatinya sedang mengalami proses disimulasi dalam persoalan tersebut. Yang
mana masyarakat modern berada pada posisi tahapan citra yang kedua, dimana
citra berusaha menyembunyikan dan menyimpangkan realitas. Jelas hal ini
mengarahkan masyarakat modern ke dalam sebuah situasi yang hiperreal (tahap ke
empat), yang sarat dan dipenuhi dengan simulakrum-simulakrum yang memanipulasi.
Dalam
karyanya, Haryatmoko (2007: 33 dan 2010: 24) juga memberikan penjelasan yang
menarik tentang tahapan pencitraan oleh Baudrillard ini. Menurutnya, pada tahap
pertama, citra merupakan representasi ketika citra menjadi cermin realitas.
Pada tahap kedua, ideologi dipahami
ketika citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas. Pada
tahap ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain
menjadi penampakannya, akhirnya citra menutupi tidak adanya dasar atas realitas.
Pada tahap keeempat, citra tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas
apapun, ia hanya menyerupai dirinya, atau dengan kata lain sebagai sebuah
simulasi.
Selanjutnya, dari proses tahapan diatas, sejatinya
mengarahkan pada suatu implosi yakni proses kemunduran social membawa ke
hancurnya batas-batas: ledakan makna dalam media dan ledakan media dan social
ke dalam massa, yang pada akhirnya mengarahkan pada hal yang membosankan,
menjenuhkan atau bahkan membingungkan (Haryatmoko, 2013). Hal tersebut, dalam
bahasa Baudrillard (1983: 57) dikatakan sebagai awal mula dari proses simulasi
secara keseluruhan. Karena makna tidak lagi dapat dibedakan, yang mana yang bermakna
positif dan yang mana yang bermakna negatif, yang pada akhirnya terbentur pada
kejenuhan atau kegamangan dalam pemaknaan pada ranah kehidupan social.
Tanda pun hanya dimaknai sebatas sebagai sebuah
petanda, bukan sebagai sebuah penanda. Sebabnya karena tanda yang dimaknai
bukan atau tidak lagi berkaitan dengan realitas. Menurut Baudrillard (1983:12),
hal tersebut dikarenakan terjadi pengembangbiakan mitos-mitos (dalam tanda
tersebut) akan asal-usul (origin) dan
tanda realitas, kebenaran pun hanya sebatas objektifitas dan keaslian yang
kedua (second hand).
Segala proses yang terjadi diatas (simulasi atau
pencitraan), kemudian berujung pada sebuah absurditas ganda yang dikonsumsi
oleh public sebagai sebuah kebenaran, yang mana pada satu sisi berdampak positif
dan disisi lain berdampak negatif. Akhirnya yang berlangsung pun bukan lagi
representasi atas yang real, melainkan penciptaan yang hiperreal (Haryatmoko,
2010: 23). Bahkan yang lebih buruk lagi
proses tersebut membangkitkan secara artificial system tanda karena tanda
merupakan materi yang lebih muda dibentuk dari pada makna, bukan lagi masalah
imitasi atau reduplikasi dan bukan pula parodi, tetapi masalah menggantikan
tanda-tanda yang real sebagai yang real itu sendiri (Haryatmoko, 2010: 24),
yang menghapus segala macam bentuk acuan atas realitas.
Dengan kata lain, simulasi atau pencitraan tersebut
dengan sendirinya mengawali sebuah era baru dalam kehidupan masyarakat modern,
khususnya dalam kehidupan social-politiknya, yakni era yang disebut oleh Baudrillard
(1983) sebagai era hiperrealitas. Dimana simulasi dijadikan sebagai sebuah
instrument operasional dalam menanamkan sebuah kesemuan dalam realitas social-politik
masyarakat modern. Hal ini jelas dapat dilihat dari atau ditandai dengan
hilangnya petanda dan metafisika representasi, runtuhnya ideology dan
bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia
nostalgia dan fantasi (Piliang, 2003: 135). Dalam kacamata Baudrillard (1983:
142) dikatakan bahwa hiperrealitas pun menjadi realitas pengganti realitas,
pemujaan (fetish) objek yang hilang
bukan lagi objek representasi, melainkan ekstase penyangkalan dan pemusnahan
terhadap ritualnya sendiri (realitas).
D. Media Sebagai Sarana Pencitraan
Peran media yang
sangat dominan dalam pembentukan opini public, tidak bisa diabaikan begitu
saja, terkhusus dalam persoalan pencitraan pada kehidupan social-politik
kontemporer. Hal ini dikarenakan sarana yang paling tepat untuk digunakan di
tengah derasnya arus perkembangan teknologi saat ini adalah media, dan media
pula satu-satunya yang sangat dipercayai oleh public sebagai penyampai berita
atau setidaknya yang paling representatif dalam menyampaikan keadaan yang
terjadi di sekitar kehidupan masyarakat. Jelas hal ini disatu sisi menimbulkan
sebuah dilema yang besar dalam kehidupan social masyarakat, karena mereka sangat
percaya terhadap apa yang disampaikan oleh media. Begitupun juga sebaliknya,
juga menjadi sebuah dilema terhadap objektifitas media, karena kebanyakan media
dimiliki oleh kalangan pengusaha (sekaligus politisi), yang tentunya
berorientasi pada keuntungan pribadi semata (tentang daftar pemilik dan group media
massa tersebut, lihat majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012 hal. 6 dan
37). Akhirnya media pun dengan sendirinya menciptakan simulasi atau pencitraan
demi kelangsungan kepentingan pemiliknya tersebut.
Sejatinya
pencitraan melalui media, jika dilihat dari kacamata Baudrillard (1983: 11),
sedang mendiskualifikasi kategori kebenaran (yang hanya memberikan tanda untuk
dikonsumsi), sehingga tidak ada lagi pembedaan antara realitas, representasi,
simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas. Pencitraan yang dimainkan media pun
dengan sendirinya dianggap sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.
Padahal dalam hal ini, media sedang menjalankan simulasi yang seakan-akan
nyata, dimana realitas berlalu begitu saja seakan-akan hanya representasi atau
simulasi (Haryatmoko, 2010: 33).
Hal inilah yang
kemudian menjadi konsumsi publik yang menghasilkan absurditas ganda yang
memiliki dua implikasi, positif dan negative. Dari sisi positif, publik menjadi
lebih kritis dan lebih jeli dalam melihat atau merespon setiap tayangan yang
ditayangkan oleh media. Namun dari sisi negatifnya, publik menjadi lebih hedonis dan apatis terhadap realitasnya. Sehingga ketika terjadi sebuah
peristiwa atau bencana di tempat lain, seseorang hanya bisa merasakan atau
turut bersimpati pada saat itu saja tanpa ada bekas di masa yang kan datang,
atau justru sebaliknya, merasa bersyukur karena bencana tersebut tidak menimpa
dirinya dan melupakan atau mengenyampingkan kepedihan yang dirasakan oleh orang
lain yang sedang mengalami peristiwa atau bencana tersebut.
Dalam hal ini, menurut
Haryatmoko (2007: 35), media sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi
masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru
semakin membuat pembaca atau audience tergantung dan kompulsif. Apalagi logika
pasar yang bermain dalam media juga sangat berperan besar dalam mempengaruhi
setiap content atau isi tayangan atau rubrik dalam media, sehingga yang dihasilkan
kemudian adalah komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak
terkontrol yang mengarahkan pada sebuah penanaman sebuah ideology yang cukup
serius, yakni ideology pasar. Olehnya itu sangat sulit bagi media untuk keluar
dari logika pasar tersebut dan membentuk pikiran kritis dan penilain yang
refleksif dan objektif.
Selain itu, pencitraan
melalui media juga memiliki kecenderungan hanya sebatas menjajakan tanda
(Haryatmoko, 2010: 267), yang menghilangkan representasi dari kenyataan. Pada
akhirnya masyarakat pun didorong untuk mengkonsumsi tanda yang dijamin
benar-benar merupakan representasi dari yang real, yang menghantarkan pada rasa
penasaran dari pembaca ataupun audience, bukan pada persamaan kepentingan yang
dimiliki oleh keduanya. Efek dari model ini (pencitraan melalui media) adalah
pemiskinan komunikasi yang hanya menjadi dan dimaknai sebatas tanda semata
(Haryatmoko, 2010: 266), dimana setiap informasi dan komunikasi dibuat aktual
dan berlebihan, yang pada akhirnya sampai pada melampaui kebenaran, realitas
dan objektifitas, atau dalam terminologi Baudrillard sebagai hiperrealitas.
Hal diatas
sejatinya semakin diperparah lagi dengan adanya ‘logika waktu pendek’ (meminjam
istilah Lipovetsky: short-term logic)
yang dimainkan oleh media. Yang mana apa yang disampaikan oleh media lebih
mementingkan kecepatan ketimbang ketepatan atau keakuratan berita, sehingga
kemudian lahirlah tayangan-tayangan siaran langsung (live) dari tempat kejadian (khususnya dalam media elektronik) yang
seolah merepresentasikan atau menggambarkan situasi yang sedang terjadi di lokasi
kejadian tersebut. Hal-hal semacam inilah yang selama ini menjadi godaan
terbesar yang selalu menggangu media, yang dalam pandangan para awaknya, lebih
baik segera menyampaikan informasi kepada public, baru kemudian dicek, daripada
basi atau sudah disampaikan lebih dulu oleh media lain (Haryatmoko, 2007: 39).
Bentuk-bentuk semacam inilah mungkin yang dapat dikategorikan sebagai mimetisme (meminjam istilah Ramonet
dalam Haryatmoko, 2007: 22) yang sedang berlangsung dalam media hari ini,
dimana para pelaku media ditumbuhi semacam ‘mental ikut-ikutan’ terhadap media
lain (khususnya yang dianggap dapat menjadi media acuan) yang sedang
mewacanakan atau mewartakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang dianggap
penting untuk disampaikan ke hadapan public.
Daftar Pustaka
Baudrillard,
Jean, 1981, For a Critique of The
Political Economy of The Sign, Telos Press, St. Louis, USA.
__________,
1983, Simulations, Semiotext(e), New
York, USA.
__________,
1988, Symbolic Exchange and Death, dalam
Jean Baudrillard: Selected Writings, Mark
Foster (Ed.), Stanford University Press, Standford.
Debrix,
François, 2010, Jean Baudrillard, dalam
Teori-Teori Kritis; Menantang Pandangan
Utama Studi Politik Internasional, Jenny Edkins dan Nick Vaughan-Williams
(Ed.), dialihbahasakan oleh Teguh Wahyu Utomo, Pustaka Baca!, Yogyakarta.
Debrix,
François, 2009, Jean Baudrillard, dalam
Edkins, Jenny dan Vaughan-Williams, Nick (Ed.), Critical Theorists and International Relations, Routledge, USA.
Haryatmoko,
2007, Etika Komunikasi, Kanisius,
Yogyakarta.
__________,
2010, Dominasi Penuh Muslihat; Akar
Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
__________, 2013, Materi Pada Perkuliahan Tentang Jean Baudrillard, Program Master
Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta.
Hegarty,
Paul, 2004, Jean Baudrillard: Live
Theory, Continuum, London.
Majalah
Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012.
Piliang,
Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir
Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Bandung.
__________,
2005, Transpolitika: Dinamika Politik di
Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar