21 Januari 2014

BAUDRILLARD DAN PENCITRAAN


Oleh: Muh. Abdi Goncing

A.   Pengantar
Dalam kehidupan sosial-politik kontemporer, pencitraan merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam setiap perilaku yang melingkupinya. Sebab segala usaha yang berkaitan dengan hal tersebut, tanpa melalui medium pencitraan, akan dirasa sebagai sesuatu yang hambar dan sia-sia. Sehingga apa yang penting dan apa yang tidak penting untuk diketahui oleh setiap orang yang menjadi sasarannya akan menjadi semakin kabur. Bahkan lebih parah lagi, akan menimbulkan sebuah efek domino bagi sebuah tatanan masyarakat dan paradigma tentang kehidupan sosial-politik yang sedang berlangsung dalam masyarakat umum.
Selain itu, yang semakin memperparah atau mengaburkan segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia sosial-politik, pengaruh media yang berperan dalam proses pencitraan tersebut semakin kehilangan ruh atau fungsi dasarnya sebagai alat penyampai informasi dan alat komunikasi publik. Kehilangan fungsi dasar yang terjadi tersebut berupa komersialisasi pesan-pesan yang tergambar dalam media. Sehingga pada akhirnya dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan (Haryatmoko, 2007: 9), terkhusus pada citra yang tergambar dalam media komunikasi kekinian.
Logika pasar pun dengan serta merta masuk ke dalam media dan mengarahkan pengorganisasian sistem informasi dan komunikasi yang terdapat di dalamnya. Sebabnya tak lain adalah banyak pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan yang mau membenarkan logika pasar tersebut (Haryatmoko, 2007: 9). Sehingga peran media dalam memberikan citra yang baik kepada khalayak umum pun semakin kabur karena hal tersebut bisa dipesan berdasarkan pembayaran atau penawaran tertinggi yang bisa dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang menginginkan sebuah pencitraan yang baik bagi dirinya ataupun kelompoknya.
Hal tersebut diatas merupakan sekelumit persoalan yang dialami oleh media sebagai salah satu (atau mungkin satu-satunya) sarana pencitraan dalam kehidupan social-politik kontemporer. Pencitraan oleh media seolah merupakan hal yang sangat penting guna menggambarkan sebuah realitas yang terjadi dalam kehidupan keseharian manusia. Sehingga dengan sendirinya masyarakat kemudian percaya dengan pesan yang diberikan oleh media tersebut tanpa perlu lagi mempertanyakan keabsahannya.
Pada akhirnya pencitraan yang ada tidak lagi bebicara tentang benar dan salah ataupun layak dan tidak layak. Namun yang terpenting adalah citra yang tergambar tersebut adalah representasi dari peristiwa yang sedang terjadi. Sehingga dalam model pencitraan yang demikian, segala macam bentuk analisis ataupun interpretasi bisa saja benar dan bahkan bisa saja salah dan semakin menyesatkan opini publik yang juga sedang berlangsung disaat yang bersamaan.
Dengan demikian, segala bentuk pesan yang ada dan telah tergambarkan tersebut merupakan pencitraan yang mendiskualifikasi kategori kebenaran karena pencitraan merancukan kebenaran (Haryatmoko, 2007: 13). Yang terjadi kemudian hanyalah sebuah rekayasa yang mendorong pencitraan sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, sehingga kemudian sulit dibedakan yang mana yang murni realitas, representasi kepalsuan, simulasi ataupun hiperealitas (dalam bahasa Baudrillard). Sebabnya tak lain adalah rekayasa yang terjadi tersebut telah menelusup masuk ke dalam celah-celah nilai, gagasan ataupun opini yang sedang tersampaikan, sehingga interpretasi yang lahir atas pesan ataupun informasi tersebut semakin menjauhkan atau bahkan mengaburkan dari hal yang sebenarnya terjadi di balik informasi tersebut.
Contoh nyata dari informasi yang direkayasa sedemikian rupa tersebut adalah berupa iklan yang mencitrakan atau menawarkan sebuah gambaran yang dalam konteks bahasa iklan biasanya dapat dijelaskan dengan gambaran mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Piliang, 2003: 287), kemudian diada-adakan sebagai sebuah bentuk atau citra yang real dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, menurut Piliang (2003: 287) citra tersebut digunakan untuk mengorganisir relasi konsumsi, serta relasi sosial yang terbentuk di dalam proses konsumsi tersebut (satus sosial, kelas sosial, dan prestise sosial). Sehingga dengan demikian, citra tersebut dengan sendirinya dapat menggambarkan sebuah realitas kehidupan yang mencerminkan kelas atau status dan prestise sosial yang terdapat di dalam masyarakat, atau dengan kata lain (meminjam istilah Marx) citra tersebut merupakan sebuah fetisisme komoditi (commodity fetishisme) yang mencerminkan sebuah hubungan dalam kehidupan sosial.
Dalam perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, teknologi citra atau pencitraan menjadi sebuah strategi pemasaran, penjualan atau pengkonsumsian  yang sangat signifikan, terkhusus dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebab segala yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut butuh sebuah sarana untuk dicitrakan (atau lebih tepatnya diiklankan) agar tercapai sebuah tujuan yang tepat sasaran. Maka tidak salah jika di dalam sistem periklanan dijumpai konsep-konsep, gagasan, tema atau ide-ide yang dikemas dan ditanamkan pada sebuah produk untuk dijadikan sebagai sebuah memori publik dalam rangka mengendalikan diri (hasrat) mereka (Piliang, 2003: 288).
Sehingga citra akhirnya dijadikan sebagai sebuah instrumen utama dalam menguasai kehidupan dan jiwa manusia modern, yang membentuk dan mengatur tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Citra kemudian, dalam masyarakat konsumeris, menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat berguna, sebuah benda yang tidak diperlukan menjadi sangat diperlukan dan benda yang aslinya tidak dibutuhkan menjadi sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, citra mengkomunikasikan konsep diri setiap orang yang dipengaruhinya (Piliang, 2003: 288).
Dari sinilah nantinya akan dilihat dalam tulisan ini, bagaimana citra atau pencitraan tersebut menstimulus (atau lebih tepatnya mensimulasi) hasrat setiap masyarakat modern untuk senantiasa terjerat oleh rayuan informasi sosial-politik yang disebarkan oleh media atau iklan social-politik yang terdapat dalam media massa sebagai sebuah model konsumsi social-politik baru, yang kemudian dengan serta merta mengamini kebenarannya. Selain itu juga, akan dilihat seperti apa bentuk dari tahap-tahap pencitraan yang dijelaskan oleh Baudrillard sendiri dalam teori simulasinya dan apa saja sarana yang berperan penting dalam proses pencitraan (simulasi) tersebut dalam kehidupan masyarakat modern. Sebab perlu dipahami bahwa simulasi sendiri, pada pembahasan selanjutnya akan dibahas lebih rinci, merupakan citra tanpa referensi atau suatu bentuk dari simulakrum yang berujung pada sebuah hiperealitas yang dikonsumsi oleh publik yang pada akhirnya menghasilkan implikasi yang berupa absurditas ganda.

B.   Sekilas Tentang Kehidupan, Karya-karya dan Pengaruh Serta yang Mempengaruhi Pemikiran Jean Baudrillard
Jean Baudrillard lahir di Reims, Prancis pada tahun 1929. Dibesarkan dalam kelas menengah-bawah (ayah dan ibunya dari kalangan petani dan pegawai/birokrasi daerah). Baudrillard adalah orang pertama dari keluarganya yang bisa melanjutkan studi lebih tinggi dari sekadar baccalauréat (istilah bahasa Perancis untuk SMA). Meski berharap masuk ke dalam École Normale Superieure (tempat banyak cendekiawan Prancis belajar), ia sempat terjerumus belajar sastra Jerman di universitas La Sarbonne di Paris, dan pekerjaan pertamanya adalah guru SMA untuk mata pelajaran bahasa Jerman (Debrix, 2010: 71).
Publikasi pertama karya Baudrillard adalah tinjauan dan terjemahan atas karya-karya Peter Weiss dan Bertolt Brecht. Kemudian dengan bantuan Henri Lefebvre dan Rolan Barthes, ketertarikan Baudrillard mulai bergeser dari bahasa ke teori sosiologis (Debrix, 2010: 71-72). Dari sinilah bisa dilihat bagaimana pengaruh kedua tokoh tersebut kemudian mempengaruhi pemikiran-pemikiran awal dari Baudrillard sendiri, terkhusus pada ketertarikannya ke dalam wacana-wacana ilmu sosial yang di masa yang akan datang dalam hidupnya menjadi karya-karyanya yang sangat monumental, khususnya dalam ilmu sosial kritis. Sejak menggeluti dunia sosiologis tersebut, ia pun mulai mengajar sosiologi di University of Nanterre (dekat Paris) pada tahun 1966 (Debrix, 2010: 72).
Pengaruh sosiologi dalam pemikirannya tersebut, dapat dilihat dalam beberapa karya-karya awalnya (meskipun lebih tepat dikategorikan sebagai karya sosiologis-filosofis karena sangat didorong oleh sebuah hasrat yang terdapat dalam dirinya untuk melampaui teori marxisme konvensional) seperti: the system of objects (1968/1996), the consumer society (1970/1998), for a critique of the political economy of the sign (1970/1981). Niat awalnya adalah menyediakan analisis kritis berkelanjutan atas budaya kontemporer yang akan melepaskan penekanan kepentingan konseptual atas nilai guna dan produksi dan menyoroti peran representasi, sistem tanda dan signifikasi objektif (Debrix, 2010: 72).
Dalam For A Critique of The Political Economy of The Sign, menurut Hegarty (2004: 24) Baudrillard kelihatan mulai menjauh dari model analisis marxis dengan cara mengembangkan teori signifikasi, daya guna dan representasi yang menggabungkan kritik politik-ekonomi dengan salah satu tanda untuk menjalin sebuah kritik yang dapat berbicara pada ekonomi-politik umum. Pandangan dari Hegarty tersebut tercermin dari penjelasan Baudrillard (1981: 113) yang mengatakan bahwa saat proses produksi dan sistemasi nilai tukar ekonomi digambarkan sebagai suatu hal yang penting, maka sebuah proses yang sama-sama digeneralisasi secara umum kemudian telah terabaikan, hal tersebut dikarenakan transmutasi nilai tukar ekonomi menjadi nilai tukar tanda.
Menurut Mike Gane dalam  Debrix (2010: 72), pencarian Baudrillard pada era 1960-an atas produksi ekonomi-politik tanda sudah menujukkan bakatnya untuk berpikir di luar struktur dan kategorisasi. Hal ini jelas menandai bahwa usaha intelektual awal dari Baudrillard sendiri sudah sangat dipengaruhi oleh disposisi untuk mendorong eksplorasi kritis terhadap ekses dari pihak-pihak yang cenderung radikal dalam setiap sistem tanda, pemaknaan atau sebuah nilai. Jelas bahwa hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dari Roland Barthes dan Henri Lefebvre dalam masa-masa awal pemikirannya yang cenderung mengarah pada sebuah sistem tanda.
Selanjutnya pada fase kedua pemikirannya, Baudrillard sangatlah dipengaruhi oleh Georges Bataille tentang accursed share dan Marcel Mauss tentang konsumsi objek sebagai kurban persembahan (Debrix, 2010: 72). Hal tersebut tercermin dalam karyanya Symbolic Exchange And Death (1988: 119) yang menyatakan bahwa simbol-simbol yang ada (dalam kehidupan social, ekonomi dan politik) masih menghantui institusi-institusi sosial modern sebagai prospek bagi kematian mereka sendiri, namun hal tersebut hanyalah memori obsesif yang berupa permintaan (demand) yang tak henti-hentinya ditekan oleh hukum nilai. Hal inilah mungkin yang menjadi penekanan Baudrillard mengapa simbol-simbol yang ada tersebut sangat sulit untuk dikembalikan ke dalam sebuah sistem sosial yang semestinya, karena menurutnya simbol-simbol tersebut menunjukkan fluktuasi yang semakin meningkatkan suatu kesamaran dalam dunia sosial (Baudrillard, 1988: 120).
Implikasi yang dihasilkan dari pemikirannya tersebut adalah sebuah pandangan atau konsep dimana masyarakat dan budaya modern telah diambil alih oleh logika nilai dan logika pertukaran. Yang mana keduanya adalah menyangkut tentang subjek: menciptakan subjek, menjaga subjek, dan mempertahankan subjek. Objeknya kemudian ditiadakan atau ditidakpastikan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, dikumpulkan, atau diikat oleh subjek (Debrix, 2010: 72). Ketidakpastian semacam ini adalah hasil realita sehari-hari yang telah ditelan oleh struktur, sistem dan model produksi, representasi, dan signifikasi.
Apa yang disampaikan diatas, jelas mengacu pada pendapat dari Baudrillard (1988) tentang penyerapan total pengolahan ulang prinsip realitas dalam sistem nilai dan sistem pemaknaan sebagai suatu ‘hyperreality’ dan ‘simulation’. Dalam kedua konteks tersebut,  the symbolic dan accursed share-nya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mewujudkan diri mereka sebagai realitas yang tersimulasi (Debrix, 2010: 73). Namun karena simulasi justru tentang ketidakpastian dan ketidakmenentuan, maka tantangan terbesarnya adalah kemungkinan tidak akan pernah bisanya dibedakan antara yang benar-benar real dan yang hypereal yang berasal dari model atau kode-kode yang dominan.
Pandangan-pandangan diataslah yang kemudian sangat mempengaruhi dan tercermin dalam serangkaian karya-karya Baudrillard selanjutnya, seperti: Forget Foucault (1977/1987); Seduction (1979/1990); Simulacra and Simulation (1981/1983); Fatal Strategies (1983/1990); America (1986/1988); Cool Memories (1987/1990); The Ecstasy of Communication (1988); The Gulf War Did Not Take Place (1991/1995); dan The Illusion of The End (1992/1994), serta beberapa karyanya kemudian sebelum wafatnya, yang penulis belum dapatkan.
Tulisan-tulisan atau karya-karya Baudrillard diatas, merupakan karya-karya yang menegangkan sekaligus menjemukan, menyenangkan sekaligus mengesalkan, membebaskan sekaligus menakutkan atau menakut-nakuti. Sehingga dengan demikian, karya-karyanya tersebut senantiasa menggelorakan secara terus-menerus antara realitas dan ironi, tindakan yang tak masuk akal dan ilusi yang brilian, mobilisasi dan ketidakpedulian, kemungkinan yang transformatif dan fatalisme telanjang, serta kepastian intelektual dan ketidakpastian yang radikal. Mungkin bagi kebanyakan orang, terkhusus pada para pemikir atau komentator yang tidak senang atau kontra dengan pandangan-pandangannya dan terlalu berfikir negatif dan cendrung berlebihan, pemikiran Baudrillard merupakan sebuah ancaman bagi pemikiran-pemikiran yang telah mapan, sebab dapat menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang sedang dibangun dalam konteks dunia modern saat ini, yang sangat sarat dengan arena simulasi dan hiperalitas serta segala macam bentuk pencitraan kehidupan masyarakat modern yang termasuk di dalamnya.

C.   Pencitraan Sebagai Simulasi dalam Kehidupan Sosial-Politik Kontemporer
Keberadaan media komunikasi dan informasi yang semakin canggih dalam kehidupan masyarakat modern, pada dasarnya membawa sebuah implikasi yang mempengaruhi corak kehidupan masyarakat tersebut. Sebab melalui media komunikasi dan informasi yang ada tersebut, segala macam bentuk citra akan kebutuhan dalam kehidupan masyarakat sedang diupayakan untuk direpresentasikan. Namun di sisi lain citra yang berusaha direpresentasikan tersebut seringkali melampaui realitas dalam kehidupan manusia (atau dalam bahasa Baudrillard terjadi hyperreality). Sehingga pada titik tertentu, masyarakat modern merasa tersihir dengan adanya beraneka macam bentuk citra yang dihadapkan dihadapan mereka, yang dengan serta merta mengamini kebenaran sihir yang diberikan atau direpresentasikan oleh citra tersebut.
Hal seperti diatas sejatinya telah mengarahkan masyarakat modern kepada sebuah pandangan yang absurd, yang mana masyarakat tidak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, serta yang mana yang benar-benar real dan yang mana yang hanya berupa rekayasa atau hanya sekedar sebagai sebuah issu atau wacana. Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam sebuah citra (pencitraan) yang berlebihan akan realitas (hiperrealitas). Dalam hal ini, Baudrillard (1983) pun berkesimpulan bahwa dalam dunia hiperealitas, kesemuan dianggap lebih nyata ketimbang kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar dari pada sebuah kebenaran. Issu atau opini lebih dipercaya ketimbang sebuah informasi, bahkan rumor dianggap lebih benar daripada suatu hal yang kebenarannya adalah sesuatu yang telah terbukti.
Hal yang sama pun terjadi dalam dunia social-politik, segala hal yang dicitrakan kepada masyarakat dengan sendirinya dipercayai sebagai sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Padahal, jika dicermati lebih mendalam, kebanyakan citra yang tergambar dalam dunia social-politik seringkali dibungkus oleh topeng-topeng ajaib yang sering dikatakan sebagai sebuah iklan yang informatif atas sebuah pencitraan social ataupun politik. Penopengan informasi serta pelacuran citra yang semacam inilah yang pernah terjadi dan mewarnai kehidupan komunikasi politik pada era orde baru dan mungkin juga era reformasi sekarang ini (Piliang, 2005: 206).
Persoalan seperti diatas merupakan sebuah wujud atau model dari simulasi atas realitas, yang mana memanipulasi segala bentuk citra (melaui pencitraan) agar didapatkan sebuah legitimasi atas kekuasaan dalam kehidpan social-politik yang dikehendaki. Tentu saja hal tersebut bertujuan untuk tercapainya sebuah dominasi kekuasaan (meminjam istilah Bourdieu) dalam konteks kehidupan social-politik. Sehingga apa yang tergambar dalam citra tersebut (melaui proses simulasi yang dilakukan) dapat mengarahkan konstituen untuk lebih percaya terhadap apa yang sedang dicitrakan dihadapan mereka sebagai sebuah realitas.
Dari pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa sejatinya sebuah pencitraan merupakan bagian atau salah satu model dari simulasi yang dimaksudkan oleh Baudrillard. Sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Yasraf Amir Piliang (2003: 134) bahwa simulasi adalah citra tanpa referensi (suatu simulacrum). Simulakrum sendiri dapat dipahami sebagai sebuah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat modern atas tanda (Piliang, 2003: 134), atau penampakan yang menyatakan diri sebagai realitas (Petit Robert dalam Haryatmoko, 2010: 23). Baudrillard (1983) sendiri menggunakan simulasi untuk membandingkan sebuah model dengan realitas, yang mana hal tersebut dilakukan atau dibuat berdasarkan hasil acak dari model yang dibandingkan (atau lebih tepatnya direpresentasikan) dengan realitas itu sendiri.
Untuk itu, Baudrillard dalam karyanya simulations (1983:11) menjelaskan empat tahap citra (pencitraan), yakni:
-          It is the reflection of a basic reality
-          It masks and perverts a basic reality
-          It masks the absence of a basic reality
-          It bears no relation to any reality. Whatever: it is its own pure simulacrum.

Dalam penjelasan selanjutnya mengenai tahap pencitraan ini, Baudrillard (1983: 11-12) menjelaskan:
In the first case, the image is a good appearance – the representation is of the order of sacrament. In the second, it is an evil appearance – of the order of malefice. In the third, it plays at being an appearance – it is of the order of sorcery. In the fourth, it is no longer in the order of appearance at all, but of simulation.

Tahap-tahap yang dijelaskan oleh Baudrillard diatas, jelas menunjukkan bahwa citra yang sampai pada masyarakat modern telah mensimulasi (atau lebih tepatnya memanipulasi) pandangan masyarakat itu sendiri atas realitas yang terjadi di sekitarnya. Sehingga jika dilihat lagi tahapan-tahapan diatas, masyarakat sejatinya sedang mengalami proses disimulasi dalam persoalan tersebut. Yang mana masyarakat modern berada pada posisi tahapan citra yang kedua, dimana citra berusaha menyembunyikan dan menyimpangkan realitas. Jelas hal ini mengarahkan masyarakat modern ke dalam sebuah situasi yang hiperreal (tahap ke empat), yang sarat dan dipenuhi dengan simulakrum-simulakrum yang memanipulasi.
Dalam karyanya, Haryatmoko (2007: 33 dan 2010: 24) juga memberikan penjelasan yang menarik tentang tahapan pencitraan oleh Baudrillard ini. Menurutnya, pada tahap pertama, citra merupakan representasi ketika citra menjadi cermin realitas. Pada tahap kedua, ideologi dipahami ketika citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas. Pada tahap ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi penampakannya, akhirnya citra menutupi tidak adanya dasar atas realitas. Pada tahap keeempat, citra tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas apapun, ia hanya menyerupai dirinya, atau dengan kata lain sebagai sebuah simulasi.
Selanjutnya, dari proses tahapan diatas, sejatinya mengarahkan pada suatu implosi yakni proses kemunduran social membawa ke hancurnya batas-batas: ledakan makna dalam media dan ledakan media dan social ke dalam massa, yang pada akhirnya mengarahkan pada hal yang membosankan, menjenuhkan atau bahkan membingungkan (Haryatmoko, 2013). Hal tersebut, dalam bahasa Baudrillard (1983: 57) dikatakan sebagai awal mula dari proses simulasi secara keseluruhan. Karena makna tidak lagi dapat dibedakan, yang mana yang bermakna positif dan yang mana yang bermakna negatif, yang pada akhirnya terbentur pada kejenuhan atau kegamangan dalam pemaknaan pada ranah kehidupan social.
Tanda pun hanya dimaknai sebatas sebagai sebuah petanda, bukan sebagai sebuah penanda. Sebabnya karena tanda yang dimaknai bukan atau tidak lagi berkaitan dengan realitas. Menurut Baudrillard (1983:12), hal tersebut dikarenakan terjadi pengembangbiakan mitos-mitos (dalam tanda tersebut) akan asal-usul (origin) dan tanda realitas, kebenaran pun hanya sebatas objektifitas dan keaslian yang kedua (second hand).
Segala proses yang terjadi diatas (simulasi atau pencitraan), kemudian berujung pada sebuah absurditas ganda yang dikonsumsi oleh public sebagai sebuah kebenaran, yang mana pada satu sisi berdampak positif dan disisi lain berdampak negatif. Akhirnya yang berlangsung pun bukan lagi representasi atas yang real, melainkan penciptaan yang hiperreal (Haryatmoko, 2010: 23).  Bahkan yang lebih buruk lagi proses tersebut membangkitkan secara artificial system tanda karena tanda merupakan materi yang lebih muda dibentuk dari pada makna, bukan lagi masalah imitasi atau reduplikasi dan bukan pula parodi, tetapi masalah menggantikan tanda-tanda yang real sebagai yang real itu sendiri (Haryatmoko, 2010: 24), yang menghapus segala macam bentuk acuan atas realitas.
Dengan kata lain, simulasi atau pencitraan tersebut dengan sendirinya mengawali sebuah era baru dalam kehidupan masyarakat modern, khususnya dalam kehidupan social-politiknya, yakni era yang disebut oleh Baudrillard (1983) sebagai era hiperrealitas. Dimana simulasi dijadikan sebagai sebuah instrument operasional dalam menanamkan sebuah kesemuan dalam realitas social-politik masyarakat modern. Hal ini jelas dapat dilihat dari atau ditandai dengan hilangnya petanda dan metafisika representasi, runtuhnya ideology dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi (Piliang, 2003: 135). Dalam kacamata Baudrillard (1983: 142) dikatakan bahwa hiperrealitas pun menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek representasi, melainkan ekstase penyangkalan dan pemusnahan terhadap ritualnya sendiri (realitas).

D.   Media Sebagai Sarana Pencitraan
Peran media yang sangat dominan dalam pembentukan opini public, tidak bisa diabaikan begitu saja, terkhusus dalam persoalan pencitraan pada kehidupan social-politik kontemporer. Hal ini dikarenakan sarana yang paling tepat untuk digunakan di tengah derasnya arus perkembangan teknologi saat ini adalah media, dan media pula satu-satunya yang sangat dipercayai oleh public sebagai penyampai berita atau setidaknya yang paling representatif dalam menyampaikan keadaan yang terjadi di sekitar kehidupan masyarakat. Jelas hal ini disatu sisi menimbulkan sebuah dilema yang besar dalam kehidupan social masyarakat, karena mereka sangat percaya terhadap apa yang disampaikan oleh media. Begitupun juga sebaliknya, juga menjadi sebuah dilema terhadap objektifitas media, karena kebanyakan media dimiliki oleh kalangan pengusaha (sekaligus politisi), yang tentunya berorientasi pada keuntungan pribadi semata (tentang daftar pemilik dan group media massa tersebut, lihat majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012 hal. 6 dan 37). Akhirnya media pun dengan sendirinya menciptakan simulasi atau pencitraan demi kelangsungan kepentingan pemiliknya tersebut.
Sejatinya pencitraan melalui media, jika dilihat dari kacamata Baudrillard (1983: 11), sedang mendiskualifikasi kategori kebenaran (yang hanya memberikan tanda untuk dikonsumsi), sehingga tidak ada lagi pembedaan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas. Pencitraan yang dimainkan media pun dengan sendirinya dianggap sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi. Padahal dalam hal ini, media sedang menjalankan simulasi yang seakan-akan nyata, dimana realitas berlalu begitu saja seakan-akan hanya representasi atau simulasi (Haryatmoko, 2010: 33).
Hal inilah yang kemudian menjadi konsumsi publik yang menghasilkan absurditas ganda yang memiliki dua implikasi, positif dan negative. Dari sisi positif, publik menjadi lebih kritis dan lebih jeli dalam melihat atau merespon setiap tayangan yang ditayangkan oleh media. Namun dari sisi negatifnya, publik menjadi lebih hedonis dan apatis terhadap realitasnya. Sehingga ketika terjadi sebuah peristiwa atau bencana di tempat lain, seseorang hanya bisa merasakan atau turut bersimpati pada saat itu saja tanpa ada bekas di masa yang kan datang, atau justru sebaliknya, merasa bersyukur karena bencana tersebut tidak menimpa dirinya dan melupakan atau mengenyampingkan kepedihan yang dirasakan oleh orang lain yang sedang mengalami peristiwa atau bencana tersebut.
Dalam hal ini, menurut Haryatmoko (2007: 35), media sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru semakin membuat pembaca atau audience tergantung dan kompulsif. Apalagi logika pasar yang bermain dalam media juga sangat berperan besar dalam mempengaruhi setiap content atau isi tayangan atau rubrik dalam media, sehingga yang dihasilkan kemudian adalah komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak terkontrol yang mengarahkan pada sebuah penanaman sebuah ideology yang cukup serius, yakni ideology pasar. Olehnya itu sangat sulit bagi media untuk keluar dari logika pasar tersebut dan membentuk pikiran kritis dan penilain yang refleksif dan objektif.
Selain itu, pencitraan melalui media juga memiliki kecenderungan hanya sebatas menjajakan tanda (Haryatmoko, 2010: 267), yang menghilangkan representasi dari kenyataan. Pada akhirnya masyarakat pun didorong untuk mengkonsumsi tanda yang dijamin benar-benar merupakan representasi dari yang real, yang menghantarkan pada rasa penasaran dari pembaca ataupun audience, bukan pada persamaan kepentingan yang dimiliki oleh keduanya. Efek dari model ini (pencitraan melalui media) adalah pemiskinan komunikasi yang hanya menjadi dan dimaknai sebatas tanda semata (Haryatmoko, 2010: 266), dimana setiap informasi dan komunikasi dibuat aktual dan berlebihan, yang pada akhirnya sampai pada melampaui kebenaran, realitas dan objektifitas, atau dalam terminologi Baudrillard sebagai hiperrealitas.
Hal diatas sejatinya semakin diperparah lagi dengan adanya ‘logika waktu pendek’ (meminjam istilah Lipovetsky: short-term logic) yang dimainkan oleh media. Yang mana apa yang disampaikan oleh media lebih mementingkan kecepatan ketimbang ketepatan atau keakuratan berita, sehingga kemudian lahirlah tayangan-tayangan siaran langsung (live) dari tempat kejadian (khususnya dalam media elektronik) yang seolah merepresentasikan atau menggambarkan situasi yang sedang terjadi di lokasi kejadian tersebut. Hal-hal semacam inilah yang selama ini menjadi godaan terbesar yang selalu menggangu media, yang dalam pandangan para awaknya, lebih baik segera menyampaikan informasi kepada public, baru kemudian dicek, daripada basi atau sudah disampaikan lebih dulu oleh media lain (Haryatmoko, 2007: 39). Bentuk-bentuk semacam inilah mungkin yang dapat dikategorikan sebagai mimetisme (meminjam istilah Ramonet dalam Haryatmoko, 2007: 22) yang sedang berlangsung dalam media hari ini, dimana para pelaku media ditumbuhi semacam ‘mental ikut-ikutan’ terhadap media lain (khususnya yang dianggap dapat menjadi media acuan) yang sedang mewacanakan atau mewartakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang dianggap penting untuk disampaikan ke hadapan public.

Daftar Pustaka


Baudrillard, Jean, 1981, For a Critique of The Political Economy of The Sign, Telos Press, St. Louis, USA.
__________, 1983, Simulations, Semiotext(e), New York, USA.
__________, 1988, Symbolic Exchange and Death, dalam Jean Baudrillard: Selected Writings, Mark Foster (Ed.), Stanford University Press, Standford.
Debrix, François, 2010, Jean Baudrillard, dalam Teori-Teori Kritis; Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Jenny Edkins dan Nick Vaughan-Williams (Ed.), dialihbahasakan oleh Teguh Wahyu Utomo, Pustaka Baca!, Yogyakarta.
Debrix, François, 2009, Jean Baudrillard, dalam Edkins, Jenny dan Vaughan-Williams, Nick (Ed.), Critical Theorists and International Relations, Routledge, USA.
Haryatmoko, 2007, Etika Komunikasi, Kanisius, Yogyakarta.
__________, 2010, Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
__________, 2013, Materi Pada Perkuliahan Tentang Jean Baudrillard, Program Master Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta.
Hegarty, Paul, 2004, Jean Baudrillard: Live Theory, Continuum, London.
Majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012.
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Bandung.
__________, 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta & Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar