27 Maret 2013

Pertarungan Sengit


 Oleh : Abdul Haris Mubarak
Tuntutan untuk menjadi yang terbaik mengakibatkan manusia cenderung melakukan kompetisi atau pertarungan. Kecenderungan itu dilakukan secara wajar namun kadang kala ada yang melukannya secara tidak wajar. Bagi sebagian orang, apapun jalannya bisa ditempuh yang penting tujuan bisa tercapai. Soal halal atau haram, baik atau buruk, benar atau salah tidaklah penting demi meraih tujuan.

Prinsip yang populer saat ini adalah “apapun jalannya yang penting tujuannya tercapai”. Meski hal itu tidak dilakukan oleh semua orang tetapi dunia yang terasa semakin sempit mengakibatkan sebagian besar orang harus bersinggungan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa memperdulikan cara yang mereka tempuh. Meski masih ada sebagian kecil orang yang patuh pada norma-norma yang berlaku tapi persentasenya sudah sangat minim.
Sejatinya, yang diterapkan oleh kita adalah “Apapun hasilnya, yang penting jalan yang ditempuh benar”, soal kegagalan yang tertunda, kita harus syukuri atau paling tidak bisa diterima dengan lapang dada”. Prinsip inilah yang sulit dijiwai dan diamalkan.
Fenomena sosial yang kita saksikan hari ini adalah cikal bakal akan lahirnya konflik yang semakin merajalela. Karena kebutuhan manusia, segala kekuatan akan dikerahkan untuk menggapai tujuan itu. Hanya saja potensi kekuatan itu sering kali dimanfaatkan pada cara-cara yang tidak benar. Dengan jalan berpolitik adalah salah satu jalan yang termulus untuk mendapatkan fulus (uang). Tentunya, akibat ekonomi politik yang dibangun secara tidak sehat akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Sebuah prediksi yang menyebutkan bahwa nasib umat manusia akan semakin dikacaukan oleh para politisi dan antek-anteknya dapat dilihat pada link ini.
Ada aksi ada reaksi. Istilah itu mengingatkan kita bahwa apa yang kita lakukan akan menuai hasil. Jika yang kita lakukan adalah keburukan, maka keburukan akan kembali kepada kita termasuk kepada orang-orang disekitar kita. Sebaliknya, jika kebaikan kita lakukan, kemungkinan besar kita juga akan mendapatkan balasan yang baik pula, termasuk kebaikan yang akan dirasakan oleh orang-orang disekitar kita.[1]
Pertarungan tidak selalu pada tataran kejahatan melawan kebaikan. Jika yang demikian itu terjadi, maka keberpihakan kita sudah jelas (memilih yang baik dan menolak yang buruk), berbeda jika pertarungan untuk meraih suatu kebaikan dengan cara yang sama-sama baik. Sebagai contoh, penulis akan mengemukakan salah satu seremonial terheboh dalam masyarakat Sulawesi Selatan hari ini. “lihatlah para petarung menuju kursi sulsel 01 dan pasangannya (wakil) 02. Penulis sangat yakin bahwa tujuan mereka (para petarung – termasuk simpatisan dan pendukung) sangat baik, caranyapun sudah terbilang cukup baik dan dapat dimaklumi. Lalu apa inti pertarungan ini? Pada awalnya hanya EKOPOL, membangun politik untuk memperbaiki kesejahteraan daerah, namun hanya karena ada siri’, harga diri, tuntutan kelompok, ego sektoral dan lain-lain sehingga terjadi pertarungan sengit”.
Fastabiqul khairat, (berlomba-lombalah dalam kebajikan).[2] Anjuran tersebut merupakan dasar untuk berkompetesi, sudah jelas bahwa kompetisi yang dimaksud adalah dengan tujuan dan jalan yang benar.
Semoga kita tidak bangga[3] dengan kemenangan tapi disikapi dengan syukur karena kita masih dipercaya oleh masyarakat kita tercinta. Jika bukan kita menang, bukan berarti kita tidak baik bagi masyarakat tetapi ada jalan yang jauh lebih baik untuk kita. Semoga apa yang kita perjuangkan bernilai ibadah dan mendapat ridho dari Allah swt.


[1] Baik dan buruk merupakan nilai yang tidak berlaku secara universal. Boleh jadi pada seseorang baik tapi pada orang lain justru sebaliknya. Baik pada tataran yang disebut oleh penuis di atas, jika tidak didapatkan secara lahiriah, maka setidaknya bisa didapatkan pada batin. Yang terpenting adalah hukum alam berbunyi “ada Aksi ada Reaksi – Aksi baik menuai kebaikan – Aksi jahat menuai masalah”
[2] Al-Qur’an.
[3] Bangga berarti setingkat lagi menjadi sombong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar